Jakarta – Sebanyak 171 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 27 Juni 2018 mendatang. Perhelatan memperebutkan kursi gubernur, walikota, dan bupati ini rawan dengan berbagai penyimpangan dalam memenangkan pertarungan. Salah satunya menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah me-warning supaya tidak memainkan isu yang tidak populer itu lantaran bisa menimbulkan masalah krusial. Presiden Joko Widodo pun telah meminta semua pihak, agar pesta demokrasi ini tidak menimbulkan perpecahan anak bangsa. Di sisi lain, para pengamat menyarankan kepada para peserta pilkada sebaiknya mengadu ide dan gagasan untuk mengambil hati rakyat.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Donni Edwin kepada Damailahindonesiaku.com, Jumat (29/12/2017) mengatakan, mengeksploitasi isu SARA guna memenangkan kontestasi politik seperti pilkada tidak bisa dibenarkan lantaran dapat merapuhkan sistem politik Indonesia.
Lantas, bagaimana tanggung jawab partai sebagai pihak yang mencalonkan kepala daerah untuk meredam isu SARA? Menurutnya, partai-partai seharusnya dapat mencegah eksploitasi isu tersebut dalam penyelenggaraan pilkada.
Caranya, pertama tidak menjadikan isu itu sebagai strategi pemenangan pilkada. Kedua, mendorong tercapainya kesepakatan di antara partai-partai peserta pilkada agar tidak menggunakan isu SARA. Yang ketiga, bersama-sama mematuhi rambu-rambu dan sanksi yang dibuat oleh penyelenggara (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Salah satu fungsi parpol dalam negara demokrasi adalah menjaga keberlanjutan dan stabilitas sistem politik. Artinya, dalam konteks Indonesia parpol harus berfungsi menjaga sistem demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45,” katanya.