Jakarta – Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Arsul Sani mengatakan, revisi RUU Terorisme mengalami perluasan dalam menjerat pelaku kejahatan terorisme. Sejumlah poin revisi ini menjadi perhatian dalam pembahasan.
“Ada perbuatan-perbuatan yang nantinya bisa dipidana,” ujar Arsul dalam diskusi Forum Legislasi “RUU Terorisme”, di Media Certer DPR, Jakarta, Selasa (31/1/2017).
Arsul mencontohkan salah satu poin yang menjadi bahasan dalam revisi tersebut, misalnya jika ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan kelompok-kelompok teroris, termasuk di luar negeri, maka hal tersebut bisa dijerat dengan undang-undang ini nantinya jika disetujui DPR .
“Contohnya WNI yang bergabung pada satu organisasi yang sudah didefinisikan sebagai kelompok teroris, seperti ISIS,” terang Arsul.
Demikian pula dengan hal-hal yang sifatnya pada sebuah permufakatan jahat untuk melakukan tindakan terorisme.
“Perluasan lain adalah, rencana permufakatan jahat lebih dipertajam lagi. Yang sekarang sudah ada tetapi sekarang lebih didetilkan lagi,” paparnya.
Perluasan lain yang masih dalam pembahasan revisi tersebut, juga pada hal pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
“Pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku terorisme baik tingkat percobaan, pembantuan, maupun ketika itu (terorisme) dilakukan. Pemberatannya misalnya dicabut hak memiliki paspor,” terang Arsul.
“Perluasan lain, sanksi pidana untuk korporasi. Undang-undang sekarang misalnya korporasi seperti yayasan menerima dana dari luar negeri ternyata disalurkan untuk terorisme. Nanti pengurusnya bisa dipidana padahal dia bukan kelompok teroris. Korporasi itu sendiri bisa dibubarkan,” imbuhnya.
Hal lain yang menjadi perhatian, kata Arsul, juga pada definisi terorisme itu sendiri, agar jelas dalam penanggulangan terorisme sesuai dengan UU nantinya.
“Definisinya harus ditegaskan terlebih dahulu, apa terorisme itu?” pungkas Arsul Sani yang juga anggota Komisi III DPR ini. (YN)