Panglima TNI Minta Nama RUU Diganti

Jakarta – Panglima TNI Marsekal TNI. Hadi Tjahjanto mengirimkan surat kepada Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR untuk mencabut draf RUU Antiterorisme dan mengganti judulnya menjadi RUU Penanggulangan Aksi Terorisme. Pansus RUU Antiterorisme akan menggelar rapat untuk menanggapi surat Panglima tersebut.

Seperti dikutip Kompas.com, dalam surat tertanggal 8 Januari 2018 itu, Panglima TNI beralasan, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu dicabut dan diubah judulnya. Hal tersebut dinilai memungkinkan karena materi dalam RUU yang saat ini dibahas mengalami perubahan hingga lebih dari 50 persen dari versi aslinya.

Selain itu, judul Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga dikhawatirkan akan mempersempit penanganan aksi terorisme sebatas pada kewenangan institusi kepolisian. Padahal, menurut Panglima, aksi terorisme di Indonesia tak bisa lagi dikualifikasikan sebagai tindak pidana terorisme yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi terkait persoalan keyakinan politis yang mengancam ideologi dan kedaulatan negara.

Dalam surat tersebut, Panglima juga meminta agar definisi terorisme diubah. Sebelumnya, terorisme didefinisikan sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Antiterorisme. Ke depan, Panglima meminta terorisme didefinisikan sebagai kejahatan terhadap negara yang mengancam ideologi, kedaulatan, keutuhan wilayah, keamanan negara, dan keselamatan segenap bangsa yang memiliki tujuan politik dan motif lain, yang dilakukan perorangan atau kelompok terorganisasi, bersifat nasional dan internasional.

Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/1), membenarkan adanya surat tersebut. Menurut dia, permintaan perubahan judul RUU dan definisi terorisme itu bukan untuk mengubah pendekatan yang dipakai dalam mengatasi terorisme, dari konteks sistem peradilan pidana ke pendekatan militer.

”Tidak ada perubahan pendekatan. Mengatasi terorisme di Indonesia tetap dalam koridor peradilan pidana, pendekatan hukum. Kita harus tetap konsisten,” kata Syafii.

Pansus RUU Antiterorisme akan mulai membahas bab tentang kelembagaan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU, pekan depan. Berkaitan dengan itu, surat Panglima TNI itu pun akan ikut dibahas dan disikapi oleh fraksi-fraksi di pansus.

Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra mengatakan dapat memaklumi alasan Panglima mengirimkan surat tersebut. Surat itu, menurut dia, hanya untuk menegaskan pelibatan TNI yang lebih aktif dalam memberantas terorisme. Isi surat itu pun dinilai sejalan dengan semangat DPR memberikan ruang lebih bagi TNI dalam mengatasi terorisme.

Karena selama ini, UU Antiterorisme lebih berupa penegakan hukum yang merupakan ranah kepolisian. Ke depan, TNI diproyeksikan tak hanya ikut memberantas terorisme dalam konteks perbantuan untuk polisi, tetapi lebih proaktif dengan batasan pembagian tugas yang akan diatur.

Direktur Imparsial Al Araf menilai, permintaan Panglima tersebut kurang tepat karena revisi UU Antiterorisme hanya amendemen terhadap pasal-pasal tertentu dan penambahan sejumlah substansi sesuai perkembangan terbaru. RUU itu bukan produk undang-undang baru sehingga judulnya tak perlu diubah drastis. Demikian pula dengan definisi, menurut dia, terorisme adalah kejahatan pidana sehingga dunia internasional pun memandang terorisme dalam kategori kejahatan transnasional yang terorganisasi (transnational organized crime).