Jakarta – Pancasila adalah ideologi negara yang telah disepakati oleh para ulama dan pendiri negeri. Umat Islam menyebut Pancasila sebagai konsep wasathiyah atau jalan tengah yang mampu mempersatukan keberagaman Indonesia. Dengan Pancasila pula Indonesia sebagai sebuah bangsa mempunyai tanggung jawab untuk ikut menciptakan perdamaian dunia.
“Jadi tidak menjadi negara agama, tapi sekaligus tidak anti agama. Tidak menjadi negara individualis, iya memberi kebebasan kepada individu, tapi juga menghargai kepentingan publik,” ujar Rektor Universitas Negeri Malang (UM) Prof. Dr. Hariyono, M.Pd, Kamis (8/6/2023).
“Justru Pancasila memberi ruang bagi setiap komunitas agama itu menghargai eksistensi kemanusiaan dan keyakinan setiap orang,” tambahnya.
Menurut Hariyono, contoh ideal implementasi Pancasila dalam tataran sosial ialah saling menghargai hak warga negara untuk mengakui, dan mengamalkan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Kemudian, memperlakukan orang secara adil dan beradab. Maka kesetaraan antar warga negara, tidak peduli mayoritas atau minoritas. Setiap warga negara itu memiliki posisi yang setara di depan hukum. Inilah prinsip negara yang modern, sehingga Indonesia sebagai negara bangsa itu berstifat inklusif.
“Inilah yang dibutuhkan kedewasaan, karena faktanya masih ada sebagian oknum agama atau oknum tokoh tertentu yang memaksakan atau melarang keyakinannya pada orang lain,” tukasnya.
Selain itu, mantan Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini mengungkapkan Pancasila sebagai falsafah dasar negara memberi ruang bagi setiap komunitas agama untuk menghargai eksistensi kemanusiaan. Juga keyakinan setiap orang dan mengatur tata telola dan pemerintahan yang tercantum dalam Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. Dalam undang-undang itu dijelaskan setiap materi muatan kebijakan negara, tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
“Bagaimana regulasi dan kebijakan politik, itu bisa mendukung terealisasinya nilai-nilai Pancasila.Supaya nilai Pancasila itu tidak terkoyak oleh perilaku-perilaku yang tidak baik.”
Hariyono menguraikan jika ditemukan ada pelanggaran atau kesalahan, itu bukan Pancasilanya yang gagal tetapi tantangan. Menurutnya, karena Pancasila sebagai sebuah idealitas maka harus diperjuangkan dari realitas yang ada. Caranya melalui penyadaran, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan sehingga aparatur negara harus menjadi teladan. Ini penting karena krisis ketelakuan ini akan mendorong masyarakat mengalami disorientasi.
“Inilah tantangan kita masih ada oknum atau kelompok yang menjadikan Pancasila sebagai sebuah jargon atau lip service. Sementara perilakunya sendiri tidak menjerminkan nilai-nilai keluhuran, dan nilai Pancasila. Itu tantangan kita supaya nanti masyarakat bisa menjadi lebih kritis,” kata Hariyono.
Menurutnya Pancasila sebagai laku itu harus diperjuangkan secara terus-menerus, tidak hanya sebagai jargon maupun sebagai identitas belaka. Tapi bagaimana seluruh anak bangsa bersama-sama untuk menjaga marwah dari Pancasila itu sendiri. Di sinilah Pancasila tidak hanya menjadi tujuan dalam hidup berbangsa, tetapi juga menjadi tolok ukur dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, Hariyono berpendapat, pentingnya edukasi Pancasila bagi generasi bangsa. Pancasila tidak mungkin bisa menjadi nilai yang diterapkan dan diterima oleh anak muda begitu saja tanpa ada proses sosialisasi dan perjuangan. Pasalnya nilai-nilai Pancasila itu bukan warisan biologis tapi warisan kultural sehingga perlu ada sosialisasi, dan internalisasi.
“Sosialisasi internalisasi yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Makanya justru di sini nilai-nilai Pancasila seyogianya itu dikembangkan, mulai pendidikan anak usia dini sampai pendidikan tinggi,” tutup Hariyono.