Jakarta – Pancasila adalah filsafat yang diterapkan sehari-hari
(Weltanschauug). Maksudnya, Pancasila menjadi ideologi atau jembatan
filosofis di Indonesia dan juga pandangan dunia.
Hal itu Mantan Kepala BPIP Prof. Yudi Latif di Jakarta, pada Sabtu
(23/11/2024). Ia menjelaskan weltanschauug ada kaitannya dengan
ideologi.
“Jika weltanschauug merupakan pandangan dan laku yang sudah hidup di
masyarakat, filsafat adalah pemikiran saintifik rasional yang
universal,” katanya.
Masalahnya, kata dia, pemikiran atau filsafat itu tidak semua menjadi
pandangan dunia dan sebaliknya, tidak semua pandangan dunia menjadi
filsafat. Mengutip Bung Karno, dasar kemerdekaan Indonesia yakni
mengenai pemikiran mendalam untuk diatasnya didirikan bangunan berupa
Indonesia merdeka.
Ia menyebut, sila pertama, kedua, dan ketiga adalah rangkuman
pemikiran atau filsafat dasar negara sedangkan sila keempat dan kelima
adalah tata kelolanya.
Para founding fathers, kata Yudi, mengolah dengan berbagai pemaknaan
dasar negara. Artinya, kearifan lokal di masing-masing tempat
diabstraksi membentuk sistem filosofi yang universal.
“Filsafat yang diterapkan Pancasila, jadi pendirian hidup dan laku
sehari-hari. Sebagai weltanschauug,” ujarnya. Karena itu, Pancasila
perlu proses pelangitan dan pembumian terus-menerus.
Problem saat ini, menurut Yudi, perkembangan ilmu ketatanegaraan
Pancasila, ekonomi, dan politik belum meningkat. “Pelakunya yang tidak
ada, maka pengembangannya jadi ambil dari ilmu yang lain,” ujarnya.
Yudi memaparkan, jika benar-benar menjadi filosofis, mau tidak mau
jembatannya adalah ideologi. Mengembangkan dasar negara dengan
Pancasila, maka perlu mengembangkan nilai-nilai yang menjadi alat
rekayasa sosial. Karena sebagai kerangka objektif, normatif filosofis
Pancasila barulah menjadi pandangan ideologi.
Ideologi adalah sistem pemikiran yang relatif koheren, sebagai
landasan interpretasi untuk bertindak, Yudi menerangkan. Filsafat
Pancasila, dijembatani oleh ideologi warga dalam bertindak atau
menyaring kerangka berpikir.
Pancasila sebagai ideologi karena itu juga mengatur operasi sistem
politik bernegara.
“Semangat dasar Pancasila, seperti nilai gotong-royong, musyawarah,
kooperatif, menjadi inti cerminan laku hidup,” kata Yudi.
Jika ingin mengembangkan nilai gotong-royong, maka kelembagaan politik
perlu klop dengan institusi yang menyetarakan nilai politik.
Yudi berharap, ke depannya, pembudayaan tata nilai dibangun kembali
lewat peran komunitas. “Tidak mungkin aparatur negara mengatur itu,
penjaganya harusnya komunitas, seperti komunitas adat-budaya,
pendidikan, agama. Seperti LDII yang konsisten menjadi jangkar
Pancasila,” kata dia.
“Negara perlu bergerak bersama komunitas agar kita tidak kehilangan
Pancasila. Aparatur negara, komunitas, dan pengusaha perlu berupaya
bersama menguatkan itu,” tutupnya