Jakarta – Lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah buah dari pemikiran para pendiri bangsa yang diperas dari nilai budaya dan ajaran agama. Karenanya, agama sama sekali tidak bertentangan dan tidak dapat dipertentangkan dengan Pancasila. Namun, dalam kenyataannya tafsir ajaran agama yang sempit juga kerap dieksploitasi untuk kepentingan tertentu untuk menghantam nilai-nilai Pancasila.
Tidak bisa dipungkiri, masih ada kelompok radikal yang ingin menggugat dasar negara karena Pancasila dianggap sebagai ‘thaghut’ dan ‘berhala kekinian. Untuk itulah, perlu adanya penguatan kembali relasi harmonis agama dan Pancasila sebagai upaya untuk menolak secara tegas kelompok yang ingin mempertentangkan keduanya.
Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (Waka BPIP), Prof. Dr.Hariyono, M.Pd, menjelaskan bahwa sejatinya korelasi antara agama dan Pancasila itu sangat positif karena mempunyai posisi masing- masing.
“Karena agama itu mengatur umat manusia yang tentunya tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di luar Indonesia. Sementara Pancasila itu sendiri hanya mengatur manusia, tata ngara kita yang ada di Indonesia. Sehingga antara agama dan Pancasila ini saling mendukung. Jadi bukan saling meniadakan, tapi saling menegaskan,” ujar Prof. Dr.Hariyono, M.Pd, di Jakarta, Selasa (18/2/2020)
Dikatakan Prof Hariyono, selama ini memang masih ada sebagian kelompok ataupun masyarakat Indonesia yang menafsirkan ajaran agama secara sempit, bahkan sering dieskploitasi untuk kepentingan tertentu dalam menghantam nilai nilai Pancasila. Sehingga agama dipersempit atau dimanipulasi untuk kepentingan kelompoknya. Padahal jika dilihat, Pancasila yang ada di Indonesia ini adalah merangkum dan meramu nilai-nilai agama yang ada di Indonesia.
“Dan agama-agama yang ada di Indonesia rata-rata adalah agama yang penuh dengan kedamaian, yang rahmatan lil alamin, yang bisa hidup saling toleransi di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Jadi saya tegaskan bahwa Pancasila ini tidak bertentangan dengan agama. Justru agama itu memupuk nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila agar bangsa kita tetap berada dalam nilai-nilai yang luhur,” ujar mantan Deputi bidang Advokasi BPIP ini.
Lebih lanjut Prof Hariyono menceritakan bahwa ketika sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) yang dipimpin oleh Bapak Radjiman Widyodiningrat, pertama kali yang diminta adalah dasar negara, yakni Pancasila. Dari situlah Pancasila sejak awal disepakati oleh para pendiri bangsa ini adalah untuk menyatukan semua elemen bangsa tanpa melihat agama, suku, etnis, keyakinan dan adat istiadatnya.
“Sehingga beliau menyatakan bahwa yang dibutuhkan oleh bangsa kita adalah hasil pemikiran yang mendalam. Pemikiran yang mendalam itu adalah nilai-nilai yang digali dari bumi Indonesia, termasuk pandangab hidup dari seluruh masyarakat yang oleh Bung Karno (Ir. Soekarno) kemudian dikonstruksi menjadi sebuah ideologi yaitu Pancasila. Dan ini semua itu tidak menigasi atau aktor tertentu dan tidak mengabaikan agama tertentu apalagi menginginkan hilangnya komunitas-komunitas tertentu,” ujarnya. .
Oleh karena itulah menurutnya, sejak awal konsepsi Pancasila ini dirumuskan sudah mencakup dimensi Ketuhanan. “Sehingga ketika beliau (Bung Karno) menyatakan bagaimana kita bertuhan, harapan beliau tentunya tidak hanya manusia saja yang harus bertuhan, tetapi negara pun seyogyanya bertuhan,” katanya.
Hal ini maksudnya menurut Hariyono, bukan negara itu menganut agama, tetapi negara itu adalah pelaksana pemerintahan, sehingga kebijakan negara harus memperhatikan nilai-nilai Ketuhanan.
“Jadi maksudnya itu. Jadi sekali lagi jangan dilihat bahwa ketika Bung Karno menyatakan tidak hanya rakyat Indonesia yang harus bertuhan, tetapi negara pun itu juga harus bertuhan. Apa konsekwensinya ? Bahwa agama bukan musuh Pancasila,” ujar mantan Wakil Rektor I bidang Akademik Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Hariyono pun melanjutkan, karena Indonesia bukan negara agama, dan bangsa ini menghargai nilai-nilai agama yang ada, maka tentunya kitab suci pun tidak boleh dipertentangkan dengan konstitusi. Hal ini menurutnya terlihat ketika Bung Karno ketika berpidato pada tanggal 5 Juni 1958 dalam rangka memperingati hari kelahiran Pancasila menyatakan bahwa Pancasila tidak boleh disamakan dengan agama.
“Tetapi juga Pancasila tidak boleh dipertentangkan dengan agama. Untuk itu kitab suci dan konstitusi bisa hidup bersama dan saling mengisi di bumi Indonesia yang kita banggakan. Tetapi itu semua tidak akan mungkin bisa menjiwai diri kita, menjadi kebijakan negara atau menjadi regulasi negara, kalau tidak kita perjuangkan bersama Sehingga Pancasila baru terwujud kalau ada perjuangan,” ujar Guru Besar bidang Sejarah Politik di Fakultas Ilmu Sosial UM ini
Dirinya memberikan contoh bagiamana masyarakat bisa bertemu dalam sebuah kegiatan olahraga bersama itu adalah bagian dari upaya untuk memperjuangkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Karena Pancasila ini bukanlah warisan alamiah yang ketika lahir langsung terjadi begitu saja. Tetapi Pancasila adalah warisan budaya yang harus terus diperjuangkan dan dibudidayakan terus menerus.
“Maka disinilah fungsi Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Kita harus bersatu, meski berbeda aliran agama, berbeda aliran keyakinan, berbeda aliran politik, tetapi semuanya adalah warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila,” ujar pria yang beberapa kali menelurkan buku-buku yang berkaitan dengan Pancasila ini.
Untuk itulah dirinya meminta kepada seluruh komponen bangsa untuk memperkuat relasi harmoni antara agama dan Pancasila sebagai upaya menolak tegas kelompok yang mempertentankan keduanya. Hal ini tentunya demi menjadi persatuan dan peradaban bangsa agar tidak terpecah belah. “Untuk itu sekali lagi saya katakan Pancasila jangan dipertentangkan dengan agama. Namun disisi lain juga Pancasila jangan diidentikkan dengan agama,” ujar pria kelahiran Malang, 27 Desember 1963.
Selain itu dirinya juga meminta masyarakat mau membumikan Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam menangkal masuknya ideologi lain. “Kalau masyarakat kita ingin menjadikan Pancasila sebagai nilai-nilai yang hidup, sebagai living ideologi, maka kita juga harus berangkat dari nilai-nilai keluhuran yang ada dalam masyarakat kita, baik yang kita gali dari kebudayaan kita, maupun agama-agama yang ada di Indonesia,” ujarnya mengakhiri.