Jakarta – Akhir-akhir ini ada sebagian masyarakat, terutama kelompok radikal terorisme yang kembali mempertentangkan hubungan antara agama dan nasionalisme. Mereka bahkan mengklaim nasionalisme bertentangan dengan agama. Cara-cara ini dilakukan bertujuan untuk kembali memecah semangat persatuan dan kesatuan di Bumi Nusantara. Padahal, semua tahu bahwa agama dan nasionalisme adalah senjata ampuh bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan serta merekatkan persatuan dan kesatuan selama 73 tahun merdeka.
Hal tersebut terlihat ketika para ulama beserta para pemimpin nasional lain membahas dasar negara, bentuk negara Indonesia setelah merdeka pada 17 Agustus 1945. Pembahasan pembahasan itu berlangsung bersama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dimana sejumlah pemimpin Islam, tokoh Islam baik dari Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ikut bergabung bersama tokoh-tokoh nasional lainnya.
“Mereka menyepakati dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Dengan penerimaan Pancasila itu sebenarnya tidak ada lagi masalah antara Islam dan nasionalisme karena Pancasila itu adalah bentuk nasionalisme religius, terutama dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang mencerminkan nasionalisme yang religius. Pancasila itu adalah aktualisasi dari nasionalisme religius itu. Jadi sebetulnya masalah itu sudah selesai,” ujar Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE, di Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Azyumardi menceritakan, pada awal abad 20 seorang ulama asal Kalimantan Barat bernama, KH Basyuni Imran mengirim surat kepada salah satu pembaru Islam Syech Muhammad Rasyid Ridha di Kairo, Mesir. Basyuni menanyakan mengenai bagaimana hubungan antara Islam dengan nasionalisme, bertentangan atau tidak. Dari situlah Syech Muhammad Rasyid Ridha menjawab bahwa Islam dan nasionalisme itu tidak bertentangan.
“Beliau mengangkat sebuah hadits yaitu Hubbul Wathan Minal Iman yang artinya Mencintai Tanah Air Itu adalah Bagian dari Iman. Dari penjelasan itulah disebutkan bahwa Islam dan Nasionalsime itu tidak bertentangan,” ujar Azyumardi .
Lebih lanjut Azyumardi mengatakan, nasionalisme yang di maksud Syech Rasyid Ridha adalah nasionalisme religius yang tidak bertentangan dengan Islam. Inilah yang kemudian oleh bangsa Indonesia diaktualisasikan dengan Pancasila yang mana nasionalisme religius itu sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Syeck Rasyid Ridha.
“Kalau ada orang Islam di Indonesia yang mempertentangkan Islam dan nasionalisme, saya kira orang-orang itu terpengaruh oleh paham-paham dari Timur Tengah yang menolak nasionalisme,” kata mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
Pria kelahiran Padang Pariaman, 4 Maret 1955 ini menjelaskan di Timur Tengah ada kalangan muslim menolak nasionalisme dikarenakan bentuk nasionalisme di Timur Tengah itu adalah sekuler dan yang pasti sekularisme tidak cocok dengan Islam. Ketika orang-orang Islam Timur Tengah menolak nasionalisme. Ironisnya, ada sebagian orang Islam di Indonesia yang tidak paham sejarah dan dinamika konteks politik yang ada di Timur Tengah, malah ikut menolak nasionalisme di Indonesia.
“Padahal nasionalisme yang ada di Indonesia itu adalah nasionalisme religius. Bukan nasionalisme atas dasar prinsip atau paham sekularisme seperti di Timur Tengah. Karena sekularisme di Timur Tengah itu tidak bersahabat dengan agama. Nah di Indonesia tidak seperti itu, nasionalisme di Indonesia itu bersahabat dengan agama,,” kata pria yang juga ahli sejarah, dan sosial Islam ini.
Untuk itu menurutnya kecintaan terhadap Tanah Air itu menjadi suatu hal yang wajib di dalam agama. Jadi setiap orang Indonesia yang lahir Indonesia, baik dia itu muslim, katolik, kristen, hindu, budha, konghucu harus wajib cinta kepada Indonesia. Ini karena kita dilahirkan, menghirup udara, hidup dengan oksigen, hidup dari hasil bumi, mencari nafkah yang semuanya ada di Indonesia.
Ia menegaskan, kalau ada orang yang menolak nasionalisme Indonesia, itu berarti kufur atau mengingkari nikmat. Dalam Islam sendiri mengingkari nikmat itu adalah salah satu dosa terbesar. Jadi penganut agama apapun khususnya kalau dalam konteks Islam wajib mensyukuri nikmat Allah yaitu telah memberikan Indonesia majemuk, beragam, plural tetapi bersatu.
Dirinya menambahkan, Indonesia yang hampir 73 tahun menginjak usia merdeka juga harus bebas dari radikalisme, ekstrimisme, terorisme. Untuk itu Islam Indonesia yang biasa disebut Islam wasathiyah yaitu Islam jalan tengah yang merupakan gabungan Islam Nusantara (Nahdatul Ulama/NU) dan Islam Berkemajuan (Muhamadiyah) harus diperkuat.
“Islam wasathiyah atau islam nusantara berkemajuan ini harus kita perkuat terus menerus. Kalau ada orang yang mau meniru-niru atau ikut ISIS dan Al-Qaeda maka dia adalah orang yang kufur nikmat, yang tidak menghargai, tidak mensyukuri nikmat Indonesia dengan Islam wasathiyah, Islam damai, Islam toleran,” ujarnya.
Dirinya juga meminta kepada masyarakat untuk tidak serta merta atau terpesona pada segala sesuatu yang berbau dengan budaya Arab yang dianggap paling Islami. Padahal banyak negara-negara di kawasan Arab yang didera konflik berkepanjangan dengan saling membunuh sesama muslim. Sementara di Indonesia kaum msulimnya bisa menunjukkan sikap Islami yang sesungguhnya dengan menjaga perdamaian antar sesama umat.
“Dengan Damai itu Indonesia bisa membangun, dengan membangun bisa mensejahterakan masyarakatnya, meningkat kesejahteraan, meningkat pendidikan, meningkat ekonominya. Kalau perang terus seperti yang terjadi di Suriah, di Iraq, kapan negara inimau membangun kalau konflik bunuh-bunuhan terus,” tukas Azyumardi.
Demikian juga dengan liberalisasi politik melalui demokratisasi di Indonesia. Menurut Azyumardi, liberalisasi atau demokratisasi politik yang terjadi sejak tahun 1998 di Indonesia itu juga tidak bertentangan dengan agama, khususnya dengan Islam. “Karena prinsip-prinsip pokok demokrasi itu sendiri seperti musyawarah cocok dengan demokrasi. Dalam Islam disebut Surah seperti di dalam konsep Al Quran,” ujar peraih gelar Kebangsawanan, Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Kerajaan Inggris ini.
Ia mencontohkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah organisasi yang menolak sistem demokrasi. Bagi kelompok tersebut kedaulatan itu harus di tangan Tuhan. “Di Indonesia kedaulatan itu di tangan rakyat melalui surah. Surah itu dalam bentuk Pemilu, dalam bentuk negosiasi, dalam bentuk perundingan, dalam bentuk musyawarah mufakat. Itu adalah bentuk bentuk realisasi konsep-konsep Al Quran yang kemudian diterima oleh para ulama dalam bentuk demokrasi di Indonesia,” tuturnya.
Azyumardi menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Menurutnya, ajaran Islam yang rahmatan Lil Alamin itu kompatibel dan cocok dengan demokrasi di Indonesia.