Jakarta – Sejumlah pembicara menilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang baru diresmikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRI) lebih mengedepankan upaya preventif dan mencegah tindakan represif dalam penanganan terorisme. Pasalnya, dalam UU ini juga mengatur ketentuan soal pendanaan terorisme.
Hal itu terungkap dalam talkshow dengan tema “Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia menurut KUHP Baru: Suatu Catatan Akhir Tahun” yang digelar Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen IKP) dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Edmon Makarim, mengatakan pada akhirnya Indonesia memiliki KUHP asli buatan bangsa setelah menunggu puluhan tahun. “Di sini kita bisa melihat kebijakan antiterorisme dan pendanaan terorisme ke depan dengan berlakunya KUHP Baru,” kata Edmon.
Direktur Hukum Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim mengatakan Pasal 622 ayat 1 Huruf BB KUHP baru, menyatakan Pasal 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme sekarang mengacu ke Pasal 602 KUHP Baru.
Menurutnya, perihal pendanaan terorisme memang agak unik, karena yang menjadi bermasalah adalah penggunaan ataupun pemanfaatan dari dana tersebut. Sebab pendanaannya bisa dari aktivitas yang ilegal maupun aktivitas yang sah.
“Kalau di sisi uangnya memang tidak bermasalah, masalahnya karena tujuannya yang berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai kejahatan,” tuturnya.
Direktur Informasi Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Kemenkominfo Bambang Gunawan mengatakan, pembaruan kebijakan terorisme dilakukan dengan mengubah dari tindakan represif berupa ancaman pidana maksimal, pidana mati, atau pidana seumur hidup menjadi suatu tindakan preventif.
“Kondisi ini diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003,” jelasnya.
Menurut Bambang, upaya pencegahan tindak terorisme sebagai suatu isu global di Indonesia juga direspons dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang pencegahan pendanaan terorisme. Lahirnya KUHP Baru di Indonesia yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu menjadi momentum strategis. Sebab, menandakan bahwa politik hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan dan pergeseran dari kolonial menjadi progresif.
“Salah satu di antaranya berkaitan dengan ketentuan mengenai terorisme dan pendanaan terorisme bersama dengan beberapa tindak pidana lainnya, di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, narkotika, dan tindak pidana perdagangan orang,” jelas Bambang.
Ketua Satuan Tugas Wilayah Bengkulu Datasemen Khusus 88 Anti Teror Imam Subandi, mengatakan yang perlu dicermati setelah tiga tahun efektif KUHP baru berlaku salah satunya ada penggantian tuduhan atau sanggahan pasal.
Imam mencontohkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 yang memberikan keleluasaan bagi polisi untuk fokus pada scientific investigation model, agar prosesnya tidak menzalimi tetapi mendudukkan pada perkara yang semestinya. Karena menurutnya, yang dikriminalisasi bukan pangkat, jabatan, atau yang nampak dari luar, tetapi dari unsur perbuatannya.
“Intinya UU Nomor 5 Tahun 2018 menjadi lebih efektif bagi penegakan hukum karena polisi khususnya Densus 88 tidak harus menunggu sampai perbuatan teror terjadi. Terkesan menurut para pejuang HAM tidak adil karena belum berbuat sudah dikriminalisasi, padahal dampak sebenarnya without waiting until the casualty, jangan menunggu sampai terjadinya korban berdarah-darah, bom meledak, dan mati. Masyarakat yang mati, pelakunya bahkan yang mati, atau mungkin polisinya yang mati baru hukum bisa ditegakkan,” tegasnya.