Jakarta – Bangsa yang besar dibangun dengan semangat yang tidak melupakan masa lalu dan jati diri bangsanya. Ketika krisis wawasan kebangsaan terjadi, itu karena masyakat mulai melupakan sejarah bangsanya sendiri. Padahal mengingat dan memahami sejarah adalah penting untuk menguatkan karakter bangsa khususnya bagi para kaum muda generasi penerus bangsa.
Guru Besar Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Asep Usman Ismail, M. Ag, mengatakan bahwa untuk menguatkan karakter bangsa, anak muda harus diajak dan dirangkul agar mereka punya wawasan terhadap sejarah bangsanya sendiri karena mereka yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini ke depan.
“Ditangan mereka kualitas bangsa ini dipertaruhkan. Kalau hari ini ada bayi lahir maka 20 tahun kemudian dia sudah remaja. Kalau hari ini remaja, 20 tahun lagi sudah jadi pemimpin bangsa. Maka kaum muda harus punya pikiran yang terbuka, kreatif, inovatif dan komunikatif dalam melihat persoalan bangsa ini,” ujar Prof. Dr. Asep Usman Ismail, M. Ag, di Jakarta, Rabu (5/8/2020).
Ia menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang besar, baik diri sisi wilayah, jumlah penduduk, hingga kekayaan alamnya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan Sumber Daya Manusia (SDM). Menurutnya banyaknya umat muslim di Indonesia yang mayoritas menjadikan negara ini adalah negara muslim terbesar di dunia.
“Dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan SDM-nya yang oke, banyak pihak tidak ingin indonesia kuat, mereka ingin disintegrasi dan kita tidak boleh terjebak pada hal itu. Jadi pikiran-pikiran yang ingin radikal akan terus bertumbuh kembang jika kita tidak menyamakan persepsi, jika kita mengelola negara tidak pakai konsep dan jika para penyelenggara negaranya tidak mencerminkan negarawan yang punya etika,” tutur Dosen kajian terorisme Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) itu.
Menurutnya, para penyelenggara negara harus memberikan contoh kepada masyarakat dengan mencerminkan sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila. Karena jika tidak, akan semakin muncul pandangan-pandangan yang tidak puas yang kemudian berusaha mencari alternatif.
“Maka jika sudah seperti itu pandangan radikal akan dianggap sebagai alternatif. Untuk itu perlu upaya komprehensif dalam bidang pencegahan untuk yang belum terpapar dan bagi yang sudah terpapar. Nah pencegahan ini bisa dimulai dari unit terkecil yaitu keluarga, sekolah, lingkungan kampus, lingkungan kelompk-kelompok sosial masyarakat dan semua kalangan komponen bangsa,” terangnya.
Asep menuturkan bahwa organisasi masyarakat (ormas) juga perlu dirangkul karena mereka jumlahnya banyak dan cakupannya luas.
“Tidak boleh berhenti hanya pada ormas yang besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah saja. Karena banyak ormas-ormas yang berbasis keislaman lainnya seperti Persatuan Islam (PERSIS), Matlaul Anwar, Persatuan Umat Islam (PUI) dan lain sebagainya itu juga perlu diajak. Nah partisipasi inilah untuk memperkuat, karena terorisme itu bukan masalah 1 orang atau 1 lembaga saja tapi masalah bangsa secara kesulurahan,” ucapnya.
Asep berpendapat bahwa pemerintah melalui BNPT telah melakukan upaya yang cukup komprehensif dengan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Ia juga berpendapat bahwa ada keberanian untuk melakukan evaluasi, mengakui kekuarangan yang ada dan kemudian melakukan perbaikan-perbaikan.
“BNPT hadir sebagai sebuah jawaban terhadap masalah yang ada khususnya dalam bidang penanggulangan terorisme karena mengakui kekurangan dan juga ada tekad untuk memperbaiki. Serta mengundang partisipasi dari semua komponen bangsa termasuk kalangan akademisi supaya rumusan-rumusan itu betul-betul berdasarkan kajian dan tidak berdasarkan perkiraan,” tutupnya.