Organisasi Jamaah Ansharut Daulah Pimpinan Aman Abdurrahman Resmi Dilarang

Jakarta – Pasca vonis hukuman mati terhadap terpidana terorisme, Aman Abdurrahman, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan turut mengeluarkan larangan terhadap organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang dibentuk oleh Aman Abdurrahman. Berdasarkan UU Nomor 5 ahun 2018 seluruh anggota yang terdaftar atau tergabung di dalam organisasi dapat dipidana.

Dikutip dari laman www.bbc.com, dalam sidang yang digelar hari Selasa (31/07/2018), yang dipimpin hakim Aris Bawono, pengadilan mengatakan semua pihak yang terlibat dalam JAD dapat diproses hukum, terlepas apakah sudah melakukan tindakan pidana atau belum.

“Ini memberikan satu landasan hukum kepada aparat penegak hukum untuk melakukan, untuk men-develop case (mengembangkan kasus) untuk bisa dilimpahkan ke pengadilan,” kata Rakyan Adibrata, peneliti terorisme dari International Association for Counter-terrorism and Security Profesionals (IACSP).

“Tanpa ada landasan hukum seperti ini akan amat susah untuk membawa yang jumlahnya 200 orang tadi ke pengadilan karena memiliki level of involvement (tingkat keterlibatan) saya yakin pasti beragam,” kata Rakyan.

Setelah terjadinya serangan bom Surabaya pada tanggal 13 Mei 2018 lalu yang menelan belasan korban jiwa, pihak kepolisian telah menangkap ratusan orang yang diduga atau bergabung dengan organisasi JAD, meskipun tidak secara langsung terkait melakukan serangan bom.

Sesuai dengan UU yang berlaku, maka hukuman yang dapat dikenakan adalah empat tahun penjara, sementara hukuman mati jika dinyatakan terlibat langsung, menyebarkan dan mendorong orang lain melakukan terorisme.

Pengacara JAD, Asludin Hatjani, yang juga menangani kasus Jemaah Islamiyah (JI) pada tahun 2008, mengatakan kliennya menerima keputusan dan tidak akan mengajukan banding.

“Setelah kami konsultasi dengan pengurus yang mewakili JAD itu, yaitu Ustaz Zainal Ansori, maka untuk menyatakan banding atau tidak terhadap putusan yang telah dibacakan oleh majelis hakim, maka Ustaz Zainal Ansori mengatakan, sudah biarkan saja,” kata Asludin Hatjani.

Polri berpendapat putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu sudah sewajarnya karena menjadi wadah aksi terorisme. Larangan ini sekaligus memberikan payung hukum kepada Polri.

“Ini lebih memudahkan Polri melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme,” ujar Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto, kepada para wartawan.

Seperti diketahui, pada tanggal 22 Juni 2018, pimpinan JAD, Aman Abdurrahman, divonis hukuman mati oleh PN Jakarta Selatan karena terbukti terlibat dalam kasus terorisme, antara lain bom Thamrin Jakarta, bom Samarinda, serta dua penyerangan terhadap polisi di Bima dan Medan.

Sementara meskipun pada tahun 2008, JI telah diputuskan sebagai organisasi terlarang dan beberapa orang telah dihukum, tetap terjadi bom Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009 yang dilakukan oleh orang-orang dari kelompok itu.

Sampai saat ini jumlah anggota organisasi JAD tidak dapat dipastikan jumlahnya, namun mereka telah menyatakan sumpah setia kepada organisasi teroris yang bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), mereka menyatakan tidak akan melakukan upaya banding terhadap keputusan hakim PN Jaksel ini.

Jadi apakah ini berarti para pendukung JAD akan menghentikan usaha mendirikan kekhalifahan? Sekarang, kelompok ini akan lebih tersudut, tetapi kemungkinan mereka tetap akan banyak bergerak secara diam-diam dan mengganti nama.

“Mereka kemungkinan akan mencari celah dari keputusan pengadilan tersebut. Misalnya adalah membuat nama-nama organisasi yang baru, pengurus yang baru dan sebagainya. Dan sifatnya masih sangat rahasia, di bawah tanah, clandestine dan umumnya adalah gerakan-gerakan yang bersifat tidak resmi,” kata Al Chaidar, peneliti terorisme Universitas Malikussaleh Lhoksumawe.

JAD sebenarnya sudah melakukan perubahan nama sebelum keputusan PN Jakarta Selatan ini dengan membuat organisasi baru Jamaah Ansharut Khilafah (JAK) dengan pengurus kurang lebih sama dan tujuan yang sama mendirikan khilafah.

“Adaptasi organisasional inilah yang kemudian nanti mungkin akan mempersulit pergerakan mereka karena bagaimanapun sebuah organisasi yang sudah dirumuskan dengan nama yang sangat baik, sangat bagus, dengan latar belakang dan alasan-alasan tertentu yang sifatnya teologis itu akan sulit mencari nama-nama baru,” tambah Al Chaidar.

Intoleransi akar masalah

Kenyataannya adalah sejumlah tindak terorisme seperti pengeboman tetap terjadi. Sudah ribuan orang diproses hukum, ditangkap sejak tindak terorisme bom Natal tahun 2000 yang meledak serentak di sejumlah gereja di beberapa kota.

Salah satu penyebabnya adalah bagi teroris, hukuman badan tidak akan membuat mereka jera, karena yang lebih penting adalah kehidupan setelahnya.
Keputusan PN Jaksel terkait JAD memang lebih berarti secara hukum dibandingkan vonis JI tahun 2008, tetapi dengan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat, tetap saja ada kemungkinan muncul radikalisme yang akhirnya dapat menimbulkan tindakan terorisme.

“Hal yang juga harus dilaksanakan secara beriringan adalah tidak hanya kontra terorisme kepada mereka yang ingin melakukan aksi teror, tetapi pencegahan radikalisasi atau pendidikan radikalisme, karena tidak ada terorisme tanpa radikalisme dan bibit dari radikalisme itu adalah intoleransi. Kalau kita melakukan pencegahan di tingkatan bibit-bibit awal, maka potensi orang melakukan terorisme akan tetap tinggi,” kata Rakyan Adibrata.

Sejumlah kajian menyebutkan akhir-akhir ini tingkat intoleransi meningkat di kota-kota besar, di antara penduduk yang berpendidikan dan bertingkat ekonomi tinggi.

Survei Wahid Institute tahun 2017 tentang radikalisme dan intoleransi menyebutkan sebanyak 11 juta orang bersedia melakukan tindakan radikal. Sebanyak 0,4% penduduk Indonesia pernah bertindak radikal, sedangkan 7,7% mau bertindak radikal kalau memungkinkan. Hal ini tidak berhubungan dengan rendahnya pendidikan atau penghasilan.

“Dalam beberapa hal banyak di antara kelompok-kelompok teroris itu setelah terbatas kegiatan mereka, mereka lebih mengarahkan kepada tindakan-tindakan ataupun gerakan-gerakan intoleran. Dan itu dianggap sebagai kompensasi atas keterbatasan yang mereka temukan di lapangan. Ya, karena mendapatkan darah baru dari kelompok-kelompok yang teroris,” kata Al Chaidar.