Orang Jadi Teroris Tidak Ujug-ujug, Ada Proses yang Dilalui

Palu – Seseorang menjadi teroris tidak ujug-ujug tetapi ada proses
yang harus dilalui sampai mereka siap melakukan aksi. Hal itu
dikatakan Staf Khusus Deputi 1 BNPT Dr. H. Suaib Tahir, MA, saat
menjadi narasumber “Pelatihan Guru Dalam Rangka Pencegahan Radikal
Terorisme di Satuan Pendidikan” di Aula SMAN 1 Palu, Sulawesi Tengah
(Sulteng), Rabu (22/112023).

“Mungkin ibu/bapak masih dengar tahun 2018 seorang ibu, bapak,
anak-anak. Satu keluarga semua ikut bom gereja di Surabaya. Itu gak
masuk akal. Tidak pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia,” ujar
Suaib.

Menurutnya tentu aksi bom bunuh diri itu bukan instan tapi melalui
proses. Dan itu bisa terjadi kepada siapapun, termasuk guru-guru,
bahkan TNI, Polri, ASN, pejabat, dan lain-lain. Karena itu semua orang
berpotensi jadi teroris selama tidak mampu mengontrol diri.

Ia mengungkapkan bagaimana seseorang jadi teroris. Langkah pertama
intoleran dulu, diartikan sebagai orientasi negatif atau penolakan
seseorang terhadap hak-hak politik yang ia tidak setuju. Dalam
beragama juga begitu, bahwa seseorang harus yakin agamanyapaling
benar, tapi jangan kita mengatakan agama orang lain salah.

“Kita tidak mengatakan orang Yahudi sesat, orang Kristen kafir. Kita
tidak boleh menyalahkan, itu hak mereka.Tuhan tidak menciptakan semua
orang islam, tapi ada bermacam-macam,” tukasnya.

Untuk itu, ia menyarakan agar tidak merasa paling benar karena itu
sebenarnya benih intoleransi dalam diri sendiri. Kalau orang sudah
seperti itu nanti akan mengarahkan pada pemahaman radikal. Artinya
orang yang sudah bisa menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuannya.
Kalau orang sudah radikal hanya menunggu momentum untuk melakukan
aksi. Kalau sudah melakuan aksi, dia dikatakan teroris.

Karena, lanjutnya bisa dikatakan bahwa semua teroris pasti radikal dan
itnoleran, tapi tidak semua intoleran itu teroris. Ada orang yang
tidak mau beda agama, tidak mau salaman dengan laki-laki. Hanya merasa
paling benar, fanatik dan lainnya tapi tidak melakukan kekerasan.

Sekjen Ormas Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) ini mengajak seluruh
peserta untuk memahami agama sebagai suatu kebutuhan hidup di dunia
dan akhirat. Untuk itulah pentingnya penguatan moderasi beragama dalam
mencegah ekstremisme dan terorisme

“Bapak Ibu adalah guru yang berinteraksi dengan masyarakat dan siswa.
Tadi kita sudah bicara bagaimana kita melihat kelomopk ini. Kita tidak
bisa sembarangan menuduh orang teroris,” ucapnya.

Menurutnya ada hal-hal perlu diperhatikan jika pada seseorang yang
akan mengarah terorisme. Pertama eksklusif tidak bisa terbuka tapi
mereka tertutup. Tidak mau bergaul, menyendiri. Perlu dipertanyakan
apakah punya masalah.

“Karena mungkin ibu-ibu merasakan kadang ada teman yang tiba-tiba
berubah secara drastic. Seperti tiba-tiba tidak hadir pengajuan karena
mereka menganggap orang lain bukan bagaian dari kita. Kemudian dia
fanatic. Tidak mau mendengar pendapat orang. Ini kafir, sesat, murtad,
hal-hal itu mulai mengkristal pada diri orang itu. Ini cir-ciri sudah
masuk kea rah sana. Kemudian anti budaya lokal. Akekah, maulid, acara
adat, dianggap bid’ah. Mereka tidak suka hal-hal seperti itu. Ini ciri
orang yang terpapar seperti itu,” pungkasnya.