Jakarta – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terancam bila paham radikalisme terus dipelihara. Karena itu penguatan nilai-nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan harus terus dilakukan untuk memberikan imunitas kepada masyarakat.
“Pada rezim Presiden Soeharto sama sekali tidak memberi kesempatan berkembangmya radikalisme yang hendak merubah Indonesia menjadi negara agama, ” kata Akademisi dari Universitas Negeri Manado (UNM) Sulawesi Utara yang juga pengacara top, Prof DR OC Kaligis SH MH menyatakan di Jakarta, Senin (20/2/2023).
Kaligis mengatakan saat itu dibentuk lembaga negara yang bernama Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Menurut dia, tujuannya adalah untuk mengamalkan dan menghidupkan kembali Pancasila keseluruh bangsa yang sempat terkontaminasi oleh paham radikal.
Namun pada era reformasi BP7 maupun P4 kelihatannya mulai diabaikan guna memuluskan perjuangan kelompok radikalisme menuju pelaksanaan konsep khilafah yang mengancam kelangsungan NKRI.
Meski begitu, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dijadikan bapak pluralisme dan haul peringatan hari wafatnya setiap tahun rutin digelar.
Guru Besar Fakultas Hukum UNM itu mengatakan saat haul tersebut tidak hanya dihadiri Gusdurian, tapi juga dihadiri pejabat, ulama hingga politikus.
Putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid pada November 2017 mengatakan bahwa aktualisasi ajaran Gus Dur memiliki arti sangat penting bagi Bangsa dan Negara. Menurutnya, di tengah situasi kehidupan berbangsa yang terancam terpecah belah karena faktor suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) maka menguatnya sikap intoleransi dalam beragama, kebhinekaan sehingga NKRI mulai terusik akibat radikalisme, paham keagamaan, serta saling fitnah dan hujat berlatar perbedaan paham politik.
Namun awalnya benih radikalisme saat perkara pembakaran dan penyerangan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Doulos pada akhir tahun 1999.