Obyek Vital Ketenagalistrikan Harus Dilindungi Dari Ancaman Aksi Teror

Yogyakarta – Subdit Pengamanan Obyek Vital, Transportasi dan VVIP pada Direktorat Perlindungan Kedeputian I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) saat ini tengah menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) Sistem Keamanan Obyek Vital Ketenagalistrikan dalam menghadapi ancaman terorisme. FGD itu digelar di Hotel Grage Yogyakarta, Kamis (11/8/2016).

Acara yang dihadiri akademisi baik dari Universita Gajah Mada (UGM), Universitas Muhamadiyah Yohyakarta (UMY), Pusat Kajian Enegi Universitas Atmajaya Yogyakarta, tokoh masyarakat, instansi PLN, Pemadam Kebakaran serta institusi TNI-Polri ini dibuka oleh Direktur Perlindungan, Brigjen Pol. Drs. Herwan Chaidir.

“Obyek Vital Ketenagalistrikan merupakan obyek vital yang sangat strategis. Listrik merupakan hal yang urgent, karena hampir semua sendi kehidupan bergantung pada listrik. Kalau saja pelaku teror itu melakukan serangan kepada obyek vital kelistrikan seperti PLN, tentu perekonomian negeri ini lumpuh. Perbankkan, rumah sakit, industri, perkantoran akan lumpuh. Jadi institusi tersebut harus aman karena merupakan cerminan keamanan negara” ujar Brigjen Pol Herwan Chaidir dalam paparannya saat membuka FGD.

Jenderal bintang satu kelahiran Palembang, 7 Oktober 1963 ini menjelaskan bahwa SOP sebagai bagian upaya untuk memproteksi obyek vital ketenagalistrikan. SOP yang dibuat selama ini masih banyak kelemahan di berbagai aspek.

“Untuk itu harus diperkuat dengan bantuan berbagai pihak dan stakeholder untuk menyatukan kekuatan, pemahaman, visi dan misi bahwa aksi terorisme merupakan kejahatan terhadap perikemanusiaan,” ujarnya.

Pria yang pernah menjabat sebagai Kabid Cegah Densus 88/AT ini menjelaskan bahwa aksi terorisme bukanlah budaya Indonesia. NKRI berbingkai kepada Bhineka Tunggal Ika yang mengajarkan untuk saling menghargai satu sama lain atau biasa disebut tepo seliro.

“Paham ideologi yang berkembang sedikit banyak sudah mengancam perkembangan negara, terlebih sejak pasca reformasi dengan kelompok Abu Bakar Baasyir yang pergi ke Afganistan untuk belajar paham radikal dan persenjataan. Pada saat reformasi implementasi ideologi yang dimiliki dan pelatihan yang telah dilakukan mulai banyak aksi hasil dari belajar di Afganistan tersebut,” ujarnya.

Lalu pada tahun 2005 setelah maraknya aksi bom Bali I dan II dalam rangka pendekatan hard power atau penegakan hukum dibentuklah Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Mabes Polri. “Ternyata tidak menyelesaikan masalah karena banyak faktor dari hulu hingga ke hilir, mulai dari pemikir sampai jihadist pelaku di lapangan, supply dana, peluang kesempatan bersembunyi,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Kasubden Bantuan Densus 88/AT ini.

Menurutnya, dalam menangani terorisme bukan hanya dengan baku tembak saja, karena akan banyak menimbulkan amarah lain dan dendam untuk melakukan aksi berikutnya. Dari data yang mengarahkan bahwasanya radikalisme dan terorisme tidak bisa ditanggulangi oleh gakum saja, harus ada pembinaan dan soft approach.

“Dari hasil beberapa pengalaman, pendekatan yang baik akan mendapatkan respon positif sehingga pelaku teror mau memberikan banyak informasi lain yang penting dan saling berkaitan. Sosial kemasyarakatan kuncinya, sesuai dengan kultur budaya Indonesia yang ramah. Cara-cara tersebut dapat dinamakan sebagai deradikalisasi. Kelompok teror merupakan orang-orang yang cerdas, maka diperlukan pendekatan yang berbeda,” katanya.

Lebih jauh alumni Akademi Kepolisian tahun 1987 ini menerangkan bahwa kehadiran BNPT pada tahun 2010 untuk melakukan penanggulangan terorisme, sementara dari segi penindakan dilakukan oleh Densus 88/AT Mabes Polri. BNPT bersinergi dengan semua kementerian terkait dan ormas untuk menanganani terorisme dari hulu hingga ke hiir.

“Penanganan terorisme tidak hanya dilakukan oleh satu pihak saja, karena negara berhadapan dengan kelompok yang tidak takut mati. Justru sebaliknya kelompok teroris ini malah mencari kematian di tangan pihak aparat keamanan. Karena bagi kelompok teroris itu, mati di tangan para Thogut atau pihak kepolisian adalah syahid karena merupakan ibadah yang akan menghantarkannya mereka ke surga,” ungkap mantan Kapolres Gorontalo ini mengakhiri.