Jakarta – AKBP MD Shodiq meraih gelar Doktor Hukum setelah berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul “Azas Kemanfaatan Hukum Deradikalisasi Tindak Pidana Terorisme Dalam Peradilan Pidana di Indonesia”.
Perwira yang sehari-harinya menjabat sebagai Kasubdit Indag Ditreskrimsus Polda Metro Jaya itu meraih gelar tersebut dengan predikat cum laude di hadapan para penguji ilmu hukum Universitas Jayabaya, Selasa (2/10) siang.
Seusai menyelesaikan sidang disertasinya, AKBP MD Shodiq kepada wartawan mengatakan, tujuannya menyajikan judul disertasi tersebut berdasarkan sejumlah fakta lapangan yang ia amati dan rasakan langsung terkait dengan narapidana terorisme. Menurutnya, para narapidana terorisme yang sudah dijatuhi hukuman sebagian besar masih kesulitan untuk mengubah paradigmanya tentang paham terorisme.
“Hukuman deradikalisasi yang dijatuhkan kepada para narapidana terorisme itu dalam pengamatan yang saya tuangkan ke dalam disertasi belum menyentuh substansi yang rasional. Hal tersebut membuat mereka berpotensi untuk mengulangi lagi perbuatannya,” jelas Shodiq.
Dikatakannya, dalam disertasinya ia memaparkan dua model untuk mengubah paradigma mantan pelaku tindak pidana terorisme agar bisa kembali berpikir rasional. Model pertama adalah pola penerapan melakukan identifikasi perbaikan, kemudian resosialiasi, reedukasi dan selanjutnya reintegrasi.
“Model ini adalah pendekatan yang bertujuan untuk memindahkan komunitas mantan pelaku tindak terorisme ke komunitas yang wajar di masyarakat,” ujar Shodiq.
Sementara model kedua, sambungnya, adalah dengan pendekatan kewirausahaan. Pendekatan ini bertujuan untuk kembali menempatkan pelaku tindak pidana terorisme ke kehidupan sosial yang wajar.
“Memberikan modal untuk berwirausaha membuat mantan narapidana terorisme bisa lebih mudah kembali ke kehidupan sosial yang wajar. Mereka bisa merajut mimpi yang lebih baik lewat wirausahanya di tengah masyarakat,” ia menjelaskan.
Selain memaparkan kedua model pendekatan tadi, AKBP MD Shodiq juga memberikan penilaian bahwa sejauh ini ia belum melihat adanya sinkronisasi antara pelaksanaan deradikaliasi dengan beberapa undang-undang yang jadi payung hukumnya. Seperti contoh UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sebutnya, sama sekali tak ada butir yang menjelaskan tentang pelaksanaan deradikalisasi.
“Padahal pelaksana deradikalisasi itu seharusnya mendampingi pelaku sejak penangkapan dan penyidikan untuk mengenali karakter si pelaku. Pendampingan terus berlanjut hingga fase kembali ke masyarakat dalam bentuk pengawasan. Sayangnya, sampai sekarang belum ada payung hukum yang mengatur detail pelaksanaan tersebut,” jelas Shodiq.
“Sementara di UU Nomor 5 Tahun 2018 memang ada butir yang mengatur deradikalisasi. Namun lagi-lagi belum ada peraturan yang mengatur bagaimana pelaksanaan deradikalisasi itu harus dilakukan ke pelaku tindak pidana terorisme,” tambah perwira yang menjadi salah satu negosiator dengan pimpinan JAD, Aman Abdurrahman saat insiden kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, pada Mei silam.