Jakarta – Provokasi sejatinya bisa dikatakan juga sebagai semacam pembangkangan sosial. Ajakan-ajakan untuk membangkang terhadap aturan yang ada serta membuat gaduh ini tentu sangat berbahaya apalagi jika hal ini ditambahi oleh bumbu-bumbu informasi hoax. Hal ini tentu perlu diwaspadai agar masyarakat tidak sampai ikut terhasut.
Pakar Psikologi Politik, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, mengatakan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia ini suka mengikuti tokoh-tokoh yang ada. Sehingga sebetulnya para tokoh ini bisa untuk melawan provokasi yang ada bukannya malah ikut-ikutan menyebar hoax. Karena menurutnya itu bukan tokoh yang punya sifat negarawan.
”Kita berharap tokoh-tokoh ini bersikap seperti negarawan, memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyatakat, mementingkan negara dulu. Kalau dia sendiri tukang kompor ya repot, apalagi followernya banyak, umatnya banyak,” ujar Prof Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (9/10/2020).
Apalagi menurut Hamdi, provokasi ini biasanya terkait dengan dua hal utama, yakni hoax atau fake news, kemudian teori konspirasi. Menurutnya berita-berita bohong ini adalah yang paling sering baru kemudian teori konspirasi. Dimana Hamdi mengatakan bahwa biasanya keduanya digabungkan untuk kemudian digiring ke arah provokasi.
”Biasanya masyarakat diajak untuk melakukan pembangkangan sosial, pembangkangan terhadap negara, tidak percaya, tidak patuh. Dalam konteks radikal itu termasuk tidak percaya kepada pemerintah, pemerintah ini disebut thogut dan segala macam,” ungkap Hamdi.
Pria kelahiran Padangpanjang, ini mengungkapkan bahwa dulu yang paling sering digaungkan untuk provokasi adalah banjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina di Indonesia, seperti tuduhan yang pernah terjadi terhadap upaya menggali terowongan gelap di dekat Halim, yang mana sebetulya itu adalah pekerja konstruksi kereta cepat.
”Tapi hal ini kemudian dipelintir yang ujung-ujungnya mengajak masyarakat tidak mempercayai pemerintah. Atau nanti bisa juga bilang ’ini yang bikin kita sengsara, kelakuan orang-orang kafir, orang-orang cina, kristen, yahudi’ ujung-ujungnya nanti bisa mengarah ke persekui,” tutur Hamdi.
Oleh karena itu Pria yang lahir pada 31 Maret 1966 menuturkan bahwa masyarakat harusnya disadarkan, diajak diajak untuk berpikir cerdas agar tidak cepat percaya hoax, tidak cepat percaya teori-teori konspirasi. Ia mengingatkan pentingnya mengecek dulu kebenaran dari berita-berita yang ada. Karena dengan teknologi sekarang hal tersebut bisa dimuat degan mudah.
”Bisa saja itu diedit sedikit-sedikit kemudian dimasukkan ke grup WA, ke sosmed. Covid sekarang juga gitu, anjuran pemerintah untuk pakai masker dan jaga jarak mereka malah bilang ’Covid itu tidak ada, konspirasi, akal-akalan cina dan yahudi biar kita wajib vaksin’, katanya. Kan seperti itu berita yang beredar, ” kata Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) itu.
Untuk itu dirinya menyarankan agar informasi yang ada itu diimbangi untuk menangkalnya. Ia mencotohkan seperti UU Cipta Kerja, meskipun secara akademik ada masalah, tetapi selain itu ia melihat ada juga hoax macam-macam beredar seperti ’ karyawan tidak akan dapat pesangon sedikitpun, tidak ada lagi uang pensiun’ dan sebagainya, yang mana itu menyesatkan.
”Kalau hal ini dibiarkan, provokasi, hoax bertebaran, bisa membuat orang jadi anarkis, membuat masyarakat jadi resah tidak terkontrol. Kalau dibiarkan lama-lama berita-berita palsu ini bisa dianggap benar nantinya. Maka pemerintah memang harus tegas,” ucap mantan anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK ini.
Sehingga menurut Hamdi jika ada berita-berita atau situs yang provokasi, apalagi provokasinya yang radikal, mendirikan negara khilafah atau yang merusak stabilitas kemanan negara memang harus diberangus. Kalau perlu situsnya bisa saja diblokir, hoax-hoax dibersihkan. Lalu dilakukan penyebaran informasi yang benar sebagai counter informartion dari berita hoax tadi.
”Karena terkadang masyarakat kita sendiri kurang melek literasi, maka yang bisa mengerem itu salah satunya adalah literasi. Maka perlu untuk meliterasi masyarakat, agar masyarakat berpikir kritis, tidak asal telan informasi yang ada,” jelasnya.
Untuk itu, Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi UI ini menyarankan bahwa literasi digitak penting untuk dilakukan dini, sejak dari TK. Karena menurutnya media sosial ini sangat susah sekali dikontrol dibandingkan dengan media-media yang lain. Karena sekarang medan pertempurannya adalah di internet, di media sosial.
”Kominfo, Badan Siber, BNPT, Polisi dan badan-badan keamanan itu harus melakukan monitoring dan sebisa mungkin ditangkal meskipun memang sulit. karena memang ini tantangannya sekarang. Nah Kominfo dan Badan Siber perlu untuk memantau ini, mana yang perlu dimatikan dan seterusnya,” ujarnya.
Lebih lanjut Hamdi mengatakan bahwa masalah pendidikan ini tidak hanya dibebankan kepada Kemendikbud saja, keluarga juga harus aktif. Perlu ada kampanye-kampanye untuk bermedsos yang sehat, berinternet yang sehat dan juga keterampilan-keterampilan untuk membedakan mana yang hoax, provokasi dan mana yang bukan.
Selain hal itu, menurutnya yang tidak kalah penting adalah keterlibatan tokoh publik, karena menurutnya, orang Indonesia ini ”manutan” sehingga jangan sampai tokoh publik yang malah ikut-ikutan menyebar hoax. Tokoh publik harusnya menjadi role model, memberi contoh yang baik, tidak gampang terprovokasi, tidak gampang mengeluarkan statemen yang belum jelas kebenarannya apalagi sampai memanas-manasi.
”Dia harus berpikir bahwa masyarakat indonesia ini suka melihat tokoh, cenderung mengikuti tokoh-tokoh, terutama tokoh agama itu dianut betul itu. Maka hati-hati dalam mengucapkan sesuatu, janganlah melintir-melintir, memanas-manasi, harus dipikir betul omongannya. Karena ucapannya itu diikuti publik,” terangnya
Tokoh publik, menurutnya harus berpikir kalau perkataannya nanti bisa membakar massa, menyulut ketegangan, membuat keresahan sehingga tidak boleh sembarangan berkomentar. Karena kalau dia sendiri yang malah mengompor-ngompori umat untuk diprovokasi jadi anarkis, radikal, intoleran dan segala macam tentu repot. Menurutnya itu bukan tokoh yang punya sifat negarawan.
Untuk itu dirinya menghimbau, meskipun kadang-kadang ada tokoh yang berseberangan secara politik tapi kan tidak boleh itu dijadikan alasan untuk memprovokasi ke bawah. Menurtunya jika ada perbedaan pandangan politik itu biasa, kita harus lebih dewasa. Jangan malah membawa provokasi ke bawah supaya mendapatkan keuntungan politik buat dia sendiri.
”Yang seperti itu kan bukan negarawan yang kita cari. Walaupun ada konflik diantara elit-elit selesaikan saja diantara mereka, jangan mengompori masyarakat apalagi sampai memobilisasi massa untuk bikin gaduh,” ujarnya mengakhiri.