Batam – Berbicara mengenai terorisme maka persoalan yang pertama muncul adalah definisi terorisme itu sendiri. Hal ini mengingat hingga saat ini belum ada definisi terorisme yang diterima secara universal.
Meskipun tidak terdapat definisi terorisme yang dapat diterima secara universal, namun secara etimologis terorisme terdiri dari dua kata yaitu “teror” (yang berarti kekejaman, tindak kekerasan dan kengerian) dan kata “isme” yang berarti suatu paham.
Hal tersebut dikatakan Direktur Tindak Pidana Terorisme dan Kejahatan Lintas Negara Kejaksaan Agung RI Sugeng Pudjianto, S.H., M.H, saat menjadi narasumber dalam acara Rapat Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum dalam Rangka Tindak Pidana Penanggulangan Terorisme.
Rakor yang diadakan oleh Subdit Hubungan Antar Lembaga Aparat Penegak Hukum pada Direktorat Penegakan Hukum di Kedeputian II bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini digelar di Grand I Hotel, Batam, Kamis (20/9/2018)
“Menurut UU RI Nomor 5 Tahun 2018 yang baru disahkan beberapa waktu lalu, definisi terorisme itu adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan / atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan,” ujar Sugeng Pudjianto, S.H., M.H
Lebih lanjut Sugeng mengatakan, di dalam UU No. 5 tahun 2018 tersebut terdapat banyak penambahan pasal yang mudah dikenakan kepada seseorang yang belum diatur sebelumnya. “Tentunya ini telah disepakati agar negara tidak boleh kalah dengan teroris,” ujarnya menjelaskan.
Dalam mengimplmentasikan UU yang baru tersebut dirinya melihar bahwa rakor ini sangat penting dalam meningkatkan Sinergitas antara BNPT dengan Kejaksaan Agung. Hal ini agar penanganan perkara tindak pidana terorisme dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya bisa secara cepat, tepat dan sederhana
“Memang menyamakan persepsi itu mudah diucapkan tapi cukup sulit untuk dipraktekkan. Tetapi kalau kita sering melakukan sinergitas maka permasalahan-permasalahan itu akan mudah dicarikan solusinya masing-masing,” ujar mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah ini.
Ia mengakui, keberadaan UU Nomor 5 2018 membuat akan banyak tersangka terorisme karena dalam UU itu, orang yang upaya ataupun berniat melakukan aksi terorisme sudah bisa dihukum. Secara umum, lanjut Sugeng, proses penuntutan tindak pidana terorisme sama dengan Pidana Umum (Pidum), hanya beda perkara dan penanganan saja.
“Kalau UU terdahulu tidak ada perpanjangan penahanan. Tapi sekarang lebih lama lagi, penyidik bisa menahan 4 bulan bisa ditambah 2 bulan lagi. Penangkapan juga begitu, kalau dulu 7 hari, sekarang 21 hari. Perbedaannya hanya disitu yang lain sama,” ungkapnya.
Untuk itu dirinya berharap kedepannya penanganan tindak pidana terorisme ini baik mulai dari Pencegahan maupun Penindakan semakin lebih baik dan tentunya negara sendiri tidak boleh kalah dengan teroris. “Untuk itu penangannanya harus dilakukan secara maksimal oleh seluruh unsur penegak hukum,” ujarnya
Sementara itu Direktur Direktur Pembinaan Narapidana Permasyarakatan dan Latihan Kerja Produksi pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Drs. Harun Sulianto, Bc.IP, S.H., M.Si, yang turut menjadi naraumber dalam rakor tersebut mengatakan bahwa sinergitas antara BNPT dengan Ditjen PAS ini dirasa sangat penting.
Menurutnya selama ini BNPT dengan Ditjen PAS sudah melakukan sinergi dengan baik terhadap menangani narapidana kasus terorisme, mulai dari proses identifikasi reedukasi, rehabilitasi dan reintegrasi.
“Termasuk juga penempatan napi terorisme di Lapas juga telah dilakukan pembahasan bersama antara BNPT dengan penyidik dari Densus 88/Anti Teror Polri, Kejaksaan Agung, Ditjen PAS serta dari pengadilan,” ujarnya.
Menurutnya, dengan koordinasi yang sudah berjalan itu maka sinergi tersebut harus dipertahankan sesuai amanat dari UU Anti Terorisme yang baru tersebut. “Kami berterima kasih terhadap BNPT yang selama ini sudah menkoorniasi dan mensinergikan kegiatan antar aparat penegak hukum. Dan semangat ini tentunya harus terus dipertahankan,” ujarnya
Penanganan kasus terorisme itu sendiri menurtnya harus penuh dengan kebersamaan, terutama di Lapas yang menyangkut dengan program penempatan dan deradikalisasi itu sendiri serta pengamanan terhadap para petugas pemasyarakatan,
“Kita berharap dengan sinergi yang sudah bagus dan koordinasi dengan BNPT harus terus berlangsung apalagi dengan bertambahanya jumlah tahanan narapidana kasus terorisme pasca disahkannya UU. Terorisme yang baru ini,” ujarnya mengakhiri.
Sementara itu Aris Bawono Langgeng, S.H., M.H yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Majelis Hakim dalam kasus oraganisai Jamaah Anshor Daulah (JAD) yang juga turut menjadi narasumber dalam acara tersebut mengungkapkan bahwa pelunya Pengadilan mensinergikan diri bersama BNPT dalam menyidangkan kasus tindak pidana terorisme. Karena pengadilan merupakan lembaga pemutus perkara yang mengambil putusan apakah terdakwa bisa dinyatakan bersalah atau tidak.
“Berdasarkan rentetan dari perkara terorisme yang masuk ke Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terorisme sekarang ini sudah begitu menyebar secara luas. Dan ini menjadi perhatian bersama antar aparat penegak hukum,: ujar Aris Bawono
Oleh karena itu dengan melakukan sinergitas dengan BNPT diharapkan agar supaya bisa melakukan pencegahan dengan maksud agar supaya pengadilan bisa lebih dahulu mengetahui atau bisa meredam bagaimana kejadian terorisme sebelum dilakukan dan menimbulkan banyak korban
Untuk itu mantan Ketua Pengadilan Negeri Gorontalo ini berharap kedepan sinergitas antara BNPT dengan Pengadilan bisa lebih ditingkatkan lagi. Hal ini seiring dengan belum adanya hakim yang memiliki spesialisasi sebagai hakim yang menangani kasus terorisme.
“Jadi kamarin kita ini diberikan workshop bersama hakim dan jaksa dari Amerika Serikat. Diharapkan kedepan akan ada suatu pelatihan untuk sinergitas. Paling tidak dari pihak hakim, jaksa maupun penyidik dari Densus ataupun Kepolisian,” ujarnya mengakhiri
Rakor yang dibuka Direktur Penegakan Hukum BNPT, Brigjen. Pol Eddy Hartono, S.Ik, MH, ini dihadiri stakeholder terkait yang ada di wilayah Kepri seperti para Komandan Kodim (Dandim) wilayah Korem 033/Wira Pratama, Komandan Pangkalan TNI-AL (Danlanal) di wlayah Lantamal IV/Tanjung Pinang, perwakilan dari Pangkalan TNI-AU (Lanud), para Kapolres, Kasatserse, dan Kasat Intel pada jajaran Polda Kepri.
Selain itu tampak hadir pula para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Kasi Pidum, dan Kasi Intel Kejaksaan di Kepri, Ketua Pengadilan, Hakim dari Pengadilan Negeri Wilayah Kepri, Kalapas, Pamong, dan Kasi Binadik pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang ada di wilayah Kepri.