Jakarta – Sampai saat ini wacana deradikalisasi versus radikalisasi masih menggelinding di ruang publik di Tanah Air, baik eksplisit maupun implisit dengan berbagai kemasan yang juga disebut sebagai perang pemikiran.
Hal itu dikemukakan Direktur Emrus Corner Dr Emrus Sihombing, MSi dalam rilis yang dikirim ke Damailahindonesiaku.com, Senin (30/10/2017). “Saya mengamati, sampai saat ini wacana deradikalisasi versus radikalisasi masih terus menggelinding di ruang publik di negeri ini, baik eksplisit maupun implisit dengan berbagai kemasan, disebut juga sebagai perang pemikiran,” ujarnya.
Dikatakan, deradikalisasi tersebut bertujuan merawat keutuhan NKRI, melestarikan Pancasila, mewujudkan pluralisme, dan menjaga UUD 1945 sebagai produk kebangsaan.
“Sebab keempat hal tersebut sudah menjadi kesepakatan berbangsa dan bernegara di negeri ini, yang dihasilkan melalui proses sejarah yang panjang,” ujarnya.
Sedangkan radikalisasi, katanya, bisa saja bertujuan sebaliknya. Lantas, siapa pemenangnya? “Sangat tergantung, siapa yang menguasai ruang publik. Dari aspek komunikasi, ruang publik adalah ruang pertarungan ide, gagasan, pemikiran, dan perilaku,” kata dosen pasca sarjana Universitas Pelita Harapan itu.
Jika radikalisme menjadi pemenang, katanya, bisa saja terjadi perubahan mendasar di negeri ini dan bisa jadi radial pula.
Untuk itu, bangsa ini harus menyusun strategi komunikasi jitu sebagai landasan sistematis melakukan gerakan semesta untuk berwacana dengan teknik persuasif menumbuhkan semangat dan perilaku kebangsaan ke-Indonesia-an di semua bidang kehidupan, untuk menawarkan wacana dan menolak tindakan radikalisme dalam bentuk apa pun di ruang publik.
“Untuk merealisasikan hal tersebut, tentu sebagai leading sector berada di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo),” katanya.
Berdasarkan strategi tersebut, kementerian ini harus membuat program, langkah dan tindakan nyata, lebih cepat lebih baik, untuk melakukan tindak dialektika intensif di ruang publik agar tercipta realitas sosial yang cinta NKRI, melestarikan Pancasila, mewujudkan pluralisme, dan menjaga UUD 1945.
“Upaya ini sekaligus sebagai tindakan membentuk immunisasi komunikasi terhadap serangan hoax dan hatespeech,” tegasnya.
Untuk merealisasikan hal tersebut secara nyata dan produktif, ujarnya, Kemenkoinfo harus mengubah haluan dari mengedepankan orientasi pengelolaan teknologi komunikasi menjadi mengutamakan secara intensif gempuran pesan komunikasi yang pro cinta NKRI, melestarikan Pancasila, mewujudkan pluralisme, dan menjaga UUD 1945 di ruang publik.
Dia meminta jangan sampai kementerian ini terlambat atau terkesan membiarkan keadaan tersebut. Sebab, pertarungan politik sudah di depan mata, Pilkada 2018 dan Pemilu (Pileg dan Pilpres) 2019.
Untuk mewujudnyatakan semua hal tersebut di atas, Kemenkoinfo harus lebih berbasis pada konsep-konsep dan teori-teori ilmu komunikasi bukan, pada konsep-konsep dan teori-teori IT.