Testimoni Mantan Teroris
Damailahindonesiaku.com – Mantan Metua Mantiqi III Jamaah Islamiyah mengisi sesi testimoni pada acara jumpa FKTP dan BNPT dengan tema “Orientasi Penulisan Berita Radikalisme bagi Wartawan dan Redaktur Media Massa di Jawa Tengah” yang bertempat di kampus Universitas Tujuh Belas Agustus, Semarang (16/6).
Sebagai salah seorang mantan pentolan Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah memimpin anggota JI keluar masuk filipina ini mengakui bahwa pada mulanya JI masih berupa Tanzim sirri (organisasi rahasia), namun pasca reformasi gerakan tersebut mulai bermunculan, tidak lagi bergerak di bawah tanah. Salah satunya melalui pemanfaatan media massa.
Mereka menyebar ide melalui buletin, buku, majalah yang mereka cetak dan sebarkan. Perkembangan tekhnologi juga telah turut ‘membantu’ kelompok ini dalam menyebarkan ide radikalisme dengan cara-cara yang lebih mudah, yakni melalui website dan situs.
Sebelum bergabung dengan JI, Nasir Abas sempat bergabung dengan NII, dimana tujuan utamanya adalah memerangi pemerintah. Hal yang sangat mengerikan dalam pertarungan melawan pemerintah ini adalah fakta bahwa muslim nyatanya bertarung dengan sesama muslim.
Padahal dalam sebuah hadist Rasul SAW menyatakan bahwa “di akhirat nanti, tidak akan bertemu yang membunuh dan yang dibunuh (satu masuk surga, satu masuk neraka).”
Berkaca pada sejarah perang Shiffin, perang kerap dilakukan dengan alasan utama berupa perebutan kekuasaan, bukan agama. Hal itu pula yang dilakukan oleh NII, JI, dan bahkan yang terbaru, ISIS.
Nasir Abas 6 tahun tinggal di Afghanistan dan 3 tahun di Filipina, dimana di sana ia sempat mendirikan kamp pelatihan. Ia adalah guru dari Umar Patek, Ali Imron, Dr Azhari, dll.
Lebih Baik Mati Daripada Ditangkap Polisi
Saat ditangkap polisi pada 2003, ia sangat berharap dapat langsung mati saja. Karena baginya lebih baik mati daripada ditangkap polisi. Karenanya ketika ditangkap, ia melakukan segala cara agar langsung ditembak mati oleh polisi, termasuk berusaha untuk merebut senjata yang dibawa oleh polisi. Saat itu ia sangat kecewa bahwa ia ternyata tidak bisa mati saat itu. “Tapi sekarang saya bisa bilang Alhamdulillah saya tidak jadi mati” katanya sambil tersenyum lega. Hal ini tentu mengundang tepuk tangan meriah dari para peserta.
Pembodohan yang terjadi selama ini adalah anggapan bahwa mereka yang bersedia mati dengan meledakkan diri pasti akan mati dalam kondisi syahid. Padahal tentu tidak demikian, dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu ketika para sahabat memuji beberapa sahabat lain yang meninggal dalam peperangan dengan menyatakan bahwa mereka semua meninggal dalam keadaan syahid, namun tiba-tiba Rasul SAW menyatakan bahwa ada seorang dari para korban tersebut tidak syahid. Para sahabat yang terheran kemudian bertanya, “Apa yang terjadi padanya hingga ia tidak mati dalam keadaan syahid ya Rasul?”, rasul SAW menjawab “Ia mati dengan cara sengaja melukai diri sendiri agar mati dan kemudian dianggap syahid”. Nasir Abas karenanya menolak bentuk terorisme yang mengorbankan nyawa orang lain untuk meledakkan diri sendiri.
Manurut Nasir Abas, bentuk teror dengan meledakkan bom bukan hanya untuk menunjukkan kekuatan mereka, tetapi untuk tujuan lain. Contohnya adalah 3 bom yang diledakkan di bali beberapa tahun lalu; bom pertama adalah bom kecil yang diledakkan di konsulat Amerika, bom tersebut kecil dan diletakkan di pinggir jalan, tujuannya adalah untuk memberi pesan bahwa Amerika adalah target utamanya.
Bom yang kedua, bom ransel, yang diledakkan di Pandy’s pub, ia sebut sebagai bom pancingan, diledakkan dengan maksud menebar pesan kepada orang Barat bahwa mereka akan menjadi sasaran utamanya. Bom ini memancing para turis untuk berkerumun guna melihat apa yang baru saja terjadi. Baru kemudian ketika semua orang sudah berkumpul, bom ketiga, yang diletakkan di dalam mobil type L-300, dibawa mendekat dan kemudian diledakkan.
Hal yang paling meresahkan saat ini adalah kecenderungan untuk mengaitkan tindakan anarkis berupa terorisme dengan Islam. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kesalahpahaman, salah satu contohnya adalah penyebutan masyarakat terhadap kelompok terorisme Jamaah Islamiyah, yang berarti “Umat Islam”. Imbas dari pemahaman ini adalah anggapan salah kaprah bahwa terorisme adalah bagian dari Umat Islam. Padahal menurut Nasir Abas, nama asli JI adalah Al Jamaah Al Islamiyah, yang berarti “sebagian dari umat Islam”; mereka bukan representasi penuh atas umat islam, karena mereka hanyalah sebagian dari Umat Islam yang gemar berlaku onar.