Jakarta – Belum genap satu bulan memasuki tahun 2024, beberapa platform media sosial mulai diwarnai dengan narasi kebangkitan khilafah beriringan dengan 100 tahun runtuhnya khilafah Utsmaniyah. Sebagian kecil masyarakat Indonesia tampaknya masih meyakini bahwa utopia versi khilafah akan terwujud.
Membahas hal ini, Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag. selaku Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menjelaskan bahwa narasi tersebut menjadi daya tarik khusus bagi orang-orang yang masih mempercayai ramalan atau nubuat, dan risalah masa lalu. Jelas sekali sebagian kecil masyarakat Indonesia, meskipun mayoritas tidak, meyakini akan adanya kebangkitan khilafah Islamiyah.
“Pandangan yang melahirkan narasi kebangkitan khilafah adalah perspektif yang sempit dan irasional. Memang ada sebagian kecil masyarakat Indonesia yang merasa memiliki hubungan dan sentimen terhadap narasi ini, dan ini tidak terlepas dari agenda politik kelompok tertentu. Beruntungnya kita bahwa klaim kembalinya khilafah tidak didukung oleh mayoritas masyarakat,” terang Prof. Zuly pada Jumat (12/1/2024).
Dirinya secara tegas menolak percaya terhadap sentimen kebangkitan khilafah. Alasannya mudah saja, mengacu pada peristiwa di tahun-tahun sebelumnya, di mana klaim serupa tentang kebangkitan khilafah disuarakan pada pemilu 2004, 2009, dan 2014 tidak terwujud.
Menurut Prof. Zuly, angka-angka belakang 4 kerap dimistifikasi dan dianggap sebagai bagian dari propaganda politik yang tidak memiliki pijakan pada realita. Walaupun demikian, kerap kali kelompok yang mendukung propaganda ini melakukannya dengan bombastis sehingga berpotensi menarik perhatian masyarakat untuk mencari tahu lebih dekat.
Beruntungnya, pengaruh narasi khilafah terhadap tahun politik seperti saat ini diprediksi tidak akan begitu signifikan terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 secara keseluruhan. Prof. Zuly beralasan bahwa masing-masing partai politik telah memiliki agenda mereka sendiri, dan masyarakat lebih memilih untuk fokus pada hal-hal yang konkrit dan terkait dengan masa depan Indonesia secara aktual.
“Masyarakat Indonesia memiliki ketahanan lebih terhadap narasi kebangkitan khilafah karena kita lebih percaya pada organisasi sosial keagamaan mainstream seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), daripada organisasi Islam non-mainstream yang muncul setelahnya. Istilah organisasi Islam non-mainstream digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang mengusung ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara Republik Indonesia,” jelas Prof. Zuly.
Ia juga memberikan saran dalam melakukan kontra propaganda terhadap narasi sejenis dengan memberikan bukti dan contoh yang faktual. Prof. Zuly menekankan perlunya menyoroti kemajuan negara-negara Islam pasca dinasti Utsmaniyah serta menggambarkan bahwa Indonesia, dengan kerangka Pancasila dan demokrasi, telah mencapai kemajuan yang lebih baik dari segala aspek kehidupan.
“Akan selalu ada saja yang membanding-bandingkan khilafah dengan apa yang saat ini kita jalankan dan yakini untuk menjalani kehidupan bernegara. Indonesia yang memilih untuk berdiri dengan alas Pancasila dan UUD 1945 jelas tidak bebas dari berbagai kekurangan. Namun, jika dianalisis secara proporsional, ideologi alternatif dari apa yang saat ini kita jalani juga tidak menjamin bahwa kehidupan rakyat Indonesia akan jauh lebih baik,” tambah Prof Zuly.
Pada porsi tertentu, masyarakat Indonesia perlu memiliki pemahaman kebangsaan yang memadai. Hal ini diperlukan agar selain seseorang bisa membentengi dirinya dari narasi yang tidak produktif, ia juga dapat menyadarkan orang disekelilingnya yang terpapar wacana sejenis. Tentu semua itu disampaikan secara santai.
Prof. Zuly menekankan perlunya memberikan bukti yang realistis dan faktual, serta mengajak untuk menjalankan nilai-nilai ajaran Islam sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari.
“Kita perlu mengedukasi dan menyampaikan pencerahan pada orang-orang terdekat kita secara santai. Selain dengan argumentasi, alangkah baiknya kita menyertakan fakta sejarah yang menjelaskan berdirinya Indonesia seperti sekarang ini. Kita juga perlu mempelajari bahwa ideologi atau sistem alternatif yang digaungkan bisa mengganti dan menyejahterakan Indonesia sebenarnya tidak memiliki dasar sejarah yang kuat,” imbuhnya.
Mengakhiri penjelasannya, Dr. Zuly Qodir mengajak semua pihak, baik pemerintah, organisasi sosial keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, dan lembaga lainnya, untuk bersama-sama memberikan bukti bahwa Indonesia sudah jauh lebih baik. Ia menilai bahwa dengan kerjasama yang baik dari berbagai pihak, bukan tidak mungkin bahwa indikator kualitas kehidupan masyarakat Indonesia akan semakin membaik.
“Saya kira ini harus terus ditingkatkan dan dilakukan bersama-sama, baik oleh Pemerintah serta didukung oleh seluruh elemen masyarakat,” tandas Prof. Zuly Qodir.
2 Attachments • Scanned by Gmail