Sydney – Bourhan Hraichie, lelaki berusia 22 tahun, narapidana kasus terorisme yang sedang mendekam dalam penjara di Sydney, Australia, memukuli dan mencambuk tahanan lain, yang juga sepupunya, karena tidak salat subuh. Dia juga pernah memahat dahi seorang napi yang terinspirasi ISIS.
Bourhan mulai ditahan sejak 2016 karena kepemilikan senjata dan pisau yang diduga akan digunakan untuk menyerang polisi di wilayah Bankstown, sekitar 40 menit dari pusat Kota Sydney. Saat itu usianya baru 18 tahun.
Pekan ini, dia kembali disidang untuk kasus penganiayaan sepupunya, bernama Sameh Bayda, yang juga ditahan di tempat itu.
Menurut pengakuan Bourhan, Sameh melontarkan pernyataan yang menyinggung tentang Islam dan sesumbar jika dia tidak melaksanakan salat subuh. Mendengar hal itu, Bourhan langsung memukul Sameh dan mengancamnya dengan pisau cukur sampai akhirnya bersedia untuk ruqyah.
Proses “pertobatan” yang dilakukan Bourhan atas sepupunya ini berupa hukuman cambuk sebanyak 30 kali dengan menggunakan kabel.
Kepada hakim yang mengadili kasus ini di Pengadilan Distrik Downing Centre Sydney pada Selasa (25/2/2020), Bourhan menyebutkan apa yang dialami Sameh itu “sangat ringan”.
“Dia hanya mendapatkan pukulan dan beberapa kali cambukan. Itu sangat ringan,” ujarnya, seperti dilaporkan ABC News, Rabu (26/2).
Dalam persidangan terungkap, saat kejadian pada Mei 2017 tersebut, Sameh menangis keras karena mengira dirinya akan mati. Bourhan sebaliknya, mengaku tidak menyesali perbuatannya. “Karena dalam hukum Allah, saya berhak untuk membela agama saya,” kata dia.
Bahkan selama persidangan, dia secara terbuka mempertanyakan apa yang bisa dilakukan pengadilan untuk menghukumnya.
“Apa? Apakah kalian akan menjatuhkan hukuman mati? Jika kalian membunuh saya, saya akan jadi martir, jika kalian mengusir saya (dari negara ini), itu sama saja dengan imigrasi,” katanya.
“Hidup saya bukan untuk dunia ini. Saya hidup untuk dunia berikutnya. Surga itu abadi,” ujarnya.
Hakim Jane Culver yang memimpin persidangan itu akan menjatuhkan vonis pada dirinya pada 5 Maret mendatang.
Tahun lalu, Bourhan juga disidang atas kasus penganiayaan terhadap teman satu selnya, bernama Michael O’Keefe. Saat itu dia menyatakan tak menyesal melakukan serangan, namun mengakui seharusnya tidak memahat dahi korban.
Bourhan menggunakan benda tajam dan menyayat dahi korban dengan tulisan “E4E”, yang merujuk pada slogan “nyawa dibayar nyawa”.
Dalam suratnya kepada pejabat penjara, Bourhan menyatakan serangannya terhadap Michael terinspirasi oleh ISIS. Dalam surat itu, dia menyebut serangan itu memasukkan tentara dalam buku catatan ISIS dan mengancam akan mengubah penjara menjadi rumah jagal.
Bourhan dalam pembelaannya menyebutkan Michael, seorang mantan tentara, memprovokasinya dengan kata-kata rasis terhadap Muslim. Korban, kata Bourhan, mengaku membunuhi orang Islam saat bertugas sebagai tentara di luar negeri.
Padahal faktanya adalah, Michael tak pernah bertugas di luar negeri dan mengaku hanya memberi tahu Bourhan bahwa dia pernah jadi tentara selama delapan tahun.
Akibat perbuatannya, serta dakwaan awal tentang rencana serangan teror, Bourhan dijatuhi vonis 34 tahun penjara. Kini, dia kembali menunggu vonis untuk kasus penganiayaan terhadap sepupunya.