Terorisme dan media merupakan dua hal yang sebenarnya sangat berlainan, namun dikarena satu dan banyak hal, keduanya kini seolah menjadi sebuah kesatuan yang sulit dipisahkan. Media ‘butuh’ terorisme sebagai bagian dari pemberitaan bombastis mereka, sementara di waktu yang bersamaan, teroris juga membutuhkan media sebagai ajang unjuk gigi dan menebar teror. Sejarah telah jelas menunjukkan bagaimana keduanya berkelindan satu sama lain. Melalui media, terorisme menemukan nafas baru.
Contoh terbaru dapat mudah ditemukan berserakan di hampir semua media kita, kasus teror bom Thamrin di awal tahun misalnya, menyisakan sikap terburu-buru dan bahkan terkesan glorifiikasi media terhadap terorisme. 8 media memang telah dibogemKPI melalui teguran keras, namun nyatanya hal itu nyaris tidak berarti apa-apa, kasus kematian tersangka terorisme Siyono merupakan buktinya. Tidak sedikit media yang tampak masih terlalu asik mengelu-elukan teroris laiknya pejuang, sehingga informasi yang benar justru terputus dan tidak pernah sampai ke masyarakat.
Hal ini tentu sangat ironis, media yang seharusnya turut membangun dan menjaga kemakmuran bangsa dengan sajian berita-berita yang memberitakan, bukan membutakan, tampak justru lebih mementingkan sisi sensasional ketimbang faktual dan aktual.
Sejak 1983, dunia –melalui deklarasi Wina—telah sepakat menyatakan terorisme adalah kejahatan internasional yang melanggar HAM dan kemudian dikokohkan dengan statemen PBB tahun 1994. Terkait hal ini, dewan pers RI juga menyatakan bahwa terorisme termasuk extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Bahkan pada 2014 lalu Dewan Pers Indonesia telah membuat kesepakatan dalam bentuk MoU dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait pedoman peliputan dan pemberitaan aksi dan gerakan terorisme, namun di lapangan masih ditemukan banyak pelanggaran. Hal ini tentu menandakan pentingnya peningkatan pengawasan serta peningkatan kualitas para pewarta kita.
Sebagaimana kelompok teroris yang kini tampak begitu bergantung pada media untuk melakukan jihad selfie mereka, penanganan terorisme bisa pula dilakukan melalui media, yakni menggunakan media sebagai bahan ajar kepada masyarakat untuk menunjukkan siapa teroris itu sebenarnya, tanpa glorifikasi, tanpa asumsi nir bukti. Karenanya tidak berlebihan untuk menyebut media sebagai kunci; ia dibutuhkan oleh teroris, namun ia bisa juga kita gunakan untuk mematikan terorisme.
Kini semuanya tergantung pada masing-masing dari kita, mau terus-terusan menelan mentah-mentah dan menyebarkan berita tanpa verifikasi terlebih dahulu atau bersikap cerdas dan kritis dalam menanggapi pemberitaan media? Saya tentu mendorong agar kita semua memiliih pilihan yang kedua.
Tidak semua yang ada di media adalah berita, mari cerdas memilih dan menyebarkan berita!
*disarikan dari paparan direktur BNPT, Brigjen Pol Drs. H. Hamidin. Jakarta 7 April 2016