Jakarta – Musyawarah dan mufakat adalah warisan leluhur yang menjadi kelebihan Indonesia dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia dengan musyawarah dan mufakat, mampu menciptakan kehidupan berdemokrasi yang baik dan indah di tengah keberagaman yang ada. Karena itu, musyawarah mufakat harus terus dijaga dan digalakkan,
“Indonesia memiliki kelebihan dibandingkan negara lain dalam hal berdemokrasi melalui musyawarah dan mufakat. Dengan musyawarah dan mufakat itu, toleransi di Indonesia menjadi kekuatan yang luar biasa. Ini harus dijaga seluruh masyarakat Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan jaman, terutama kemajuan teknologi informasi,” ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Dr. Hendri Satrio di Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Ia mengakui, mengakui semangat musyawarah mufakat akhir-akhir ini agak menurun. Hal itu terjadi seiring dengan perkembangan jaman yang serba instan dan digital. Akibatnya, media untuk melakukan musyawarah mufakat bergeser. Kalau dulu musyawarah mufakat dilakukan dengan berkumpul dan berdiskusi, sekarang bisa lewat media digital yaitu media sosial (medsos).
Namun, Hendri menegaskan, esensi musyawarah mufakat sudah sangat melekat dengan bangsa Indonesia sehingga apapun bentuknya, meski akhirnya harus voting, musyawarah mufakat itu selalu digunakan di setiap kegiatan.
“Musyawarah mufakat yang merupakan sila keempat dari Pancasila seperti menjadi ‘nafas’ bagi bangsa ini. Artinya musyawarah mufakat itu adalah salah satu kekuatan bangsa Indonesia untuk menjaga NKRI dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya,” imbuh pria yang juga pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) ini.
Ia mengakui sejauh ini, iklim demokrasi di Indonesia masih menuju ke arah dewasa. Ia yakin bila demokrasi Indonesia sudah matang dan dewasa, masalah musyawarah mufakat sudah otomatis di masyarakat dan tidak perlu dibicarakan lagi.
“Artinya kita sudah sama-sama mengerti, bahwa demokrasi ya begini ini, dan telah sesuai dengan garis-garis yang digininkan para pendiri kita. Makanya musyawarah dan mufakat itu menjadi penting,” tukas Hendri.
Ia menyadari, sejauh ini demokrasi Indonesia masih gonjang-ganjing. Salah satunya karena kondisi politik di Indonesia juga masih naik turun. Karena itu ia mengimbau para pemimpin bangsa, termasuk politikus untuk memegang teguh musyawarah mufakat demi menciptakan ketenangan di masyarakat
Menurutnya, stabilitas demokrasi di suatu negara tergantung pada tiga hal. Pertama persamaan di bidang hukum, kedua kedewasaan berpolitik, dan ketiga bagaimana negara ini mampu kuat secara ekonomi. Di Indonesia, Hendri yakin masalah hukum dan ekonomi bisa dikejar pemerintah, tetapi kalau pendewasaan politik, harus langsung menyentuh ke hati nurani masyarakat. Pendewasaan politik inilah yang menjadi PR (pekerjaan rumah) berat.
“Tapi untuk melakukan ini sebenarnya tidak terlalu berat. Kenapa? Karena orang Indonesia itu masing-masing memiliki rasa memaafkan, jiwa musyawarah mufakat sudah ada. Hanya perlu ditegaskan jangan sampai kehidupan digital seperti sekarang ini malah mempersempit orang melakukan silaturahmi satu dengan yang lain,” jelasnya.
Hendri menilai, musyawarah mufakat juga menjadi kearifan lokal yang telah terbukti mampu menjadi fondasi bangsa yang kukuh. Itu dibuktikan selama rentang usia Indonesia dari masa kemerdekaan sampai sekarang, dimana melalui musyawarah mufakat Indonesia mampu menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
Hendri mengungkapkan, kunci dari semua itu adalah bagaimana memahami dasar negara Pancasila dengan baik. Bahwa lima sila dalam Pancasila ada dan tumbuh dalam satu kesatuan, bukan tumbuh sendiri-sendiri. Karena itu lima sila dalam Pancasila harus dijalankan sebagai modal besar bangsa Indonesia.
“Saya yakin tantangan-tantangan yang ada kaitannya demokrasi, radikal terorisme, pasti gak akan ada. Karena kembali lagi kita akan kembali jadi satu kelompok yaitu Indonesia,” pungkas Hendri Satrio.