MUI Undang Kepala BNPT Untuk Jelaskan Program Penanggulangan Terorisme Yang Telah Dijalankan

Jakarta – Maraknya aksi teror kekerasan terhadap ulama dan perusakan tempat ibadah pada akhir akhir ini membuat Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Watim MUI) perlu meminta penjelasan dari pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan penegakan hukum dalam menangani masalah kekerasan dan juga masalah radikalisme dan terorisme untuk menjadi narasumber pada acara Rapat Pleno ke-25 Dewan Pertimbangan MUI

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH menjadi salah satu narasumber yang diundang dalam acara bertema Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Ulama dan Perusakan Rumah Ibadah.

Selain Kepala BNPT turut diundang juga sebagai narasumber Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Drs. Ari Dono Sukmanto, SH, MH. Dalam acara tersebut juga di berikan kesempatan untuk berdialog dengan para tokoh-tokoh agama, ulama dan juga ormas yang selama ini ada dibawah naungan MUI.

“Kita diudang oleh Ketua Dewan Pertimbangan MUI, pak Din Syamsudin lengkap dengan semua ormas yang mewakili 99 ormas untuk membicarakan masalah adanya semacam kekerasan terhadap beberapa ulama atau pimpinan pesantren yang dipertanyakan. Mamang ini ranahnya bukan ranahanya BNPT tapi lebih ranahnya Kepolisian,” ujar Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius kepada wartawan usai acara dialog tersebut di kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/2/2018).

Meski hal tersebut bukan ranah dari BNPT, namun Kepala BNPT menjelaskan bahwa BNPT akan mulai bergerak jika pelaku yang sedang ditangani Polri itu nantinya telah ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana terorisme. Setelah nantinya pelaku itu ditetapkan sebagai terorismaka akan ada rangkaian-rangkaian selanjutnya yang akan dilakukan oleh BNPT

“Kita memang tidak secara tupoksi (tugas pokok dan fungsi) berfokus kesana (penindakan). Karena untuk maalah penindakan tetap menjadi kewenangannya Kepolisian dalam hal ini sebagai penegakan hukum,” ujar mantan Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas ini.

Lebih lanjut mantan Kabareskrim Polri ini menjelaskan bahwa dalam pertemuan tersebut pihaknya menjelaskan kepada para audience mengenai apa yang sudah dikerjakan ataupun dilaksanakan BNPT selama ini dalam masalah penanggulangan terorisme. Dimana saat dirinya menjabat sebagai Kepala BNPT pihaknya mencoba menerapkan pola soft approach (pendekatan lunak) dalam mengurai masalah terorisme dari hulu ke hilir.

“Itulah pendekatan humanis bagaimana menyentuh akar masalah dari setiap kejadian terorisme di Indonesia,” kata mantan Kapolda Jawa barat ini.

Selain itu menurutnya, pertemuan ini juga untuk mencari solusi bersama atas penanganan kasus terorisme sekaligus bisa jadi bahan evaluasi kinerja BNPT dalam menanggulangi masalah tersebut. “Diundang juga pak Kabareskrim yang bertanggungjawab masalah masalah keamanan terkait dengan penanganan kasus-kasus kriminal untuk berdialog mengentaskan masalah-masalah yang mungkin bisa dievaluasi dan bisa dicari solusinya,” ujarnya.

Dalam paparannya alumni Akpol tahun 1985 ini memutarkan video mengenai program soft approach yang telah dilakukannya yakni dengan membangun masjid, pesantren dan sarana belajar bagi anak-anakdi Sei Mencirin, Deli Serdang dan di Desa Tenggulun, Lamongan. Dimana pesantren tersebut ditujukan kepada anak-anak yang orang tuanya pernah menjadi pelaku aksi terorisme

Ketika ditanya wartawan mengeanai program deradikalisai pada anak-anak yang dirasa masih kurang, pria kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 ini pun juga mengakui kalau hal tersebut juga dirasanya masih kurang.

“Kurang, jadi sekarang ini memang kurang. Saat ini saya masih mencari metodenya termasuk melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang bisa memastikan agar mereka ini nantinya betul-betul tidak kembali lagi pada paham-paham radikal,” tutur bapak dua anak ini
Menurut mantan Kadiv Humas Polri ini, ada beberapa lembaga yang telah didekatinya untuk diajak bekerjasama dalam rangka program deradikalisai bagi anak-anak, seperti mencoba menggandeng Wahid Foundation yang dipimpin oleh Yenny Wahid yang merupakan putri dari presiden RI-4, Alm KH Abdurahman Wahid (Gus Dur).

“Kita tidak boleh sembarangan. Kita tidak boleh menitipkan anak itu sembarangan. Dan tidak bisa Cuma sebulan. Karena orang menjadi radikal itu bisa tahunan. Kita tidak bisa meyakinkan 1-2 bulan bisa berubah. Oleh sebab itu ada program deradikalisai yang difokuskan kepada anak-anak dengan melibatkan para psikolog dan sebagainya,” kata mantan Wakapolda Metro Jaya ini mengakhiri.