Jakarta – Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Watim MUI) mengadakan Rapat Pleno ke-25 Watim MUI dengan tema Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Ulama dan Perusakan Rumah Ibadah pada Rabu (21/2/2018).
Hal tersebut dilakukan untuk meminta penjelasan dari pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan penegakan hukum dalam menangani masalah kekerasan dan juga masalah radikalisme dan terorisme untuk membahas aksi teror yang selama ini telah meresahkan masyarakat selama ini yakni masalah tindakan kekerasan terhadap para tokoh agama, ulama dan perusakan tempat ibadah
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin, menjelaskan, dalam pertemuan yang juga menghadirkan para tokoh agama dan ormas ini menghadirkan dua narasumber yang menangani masalah tersebut yakni Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH dan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Drs. Ari Dono Sukmanto, SH, MH. Din pun menilai pertemuan ini sangat penting
“Hari ini, Dewan Pertimbangan MUI mengundang dua pejabat tinggi dan penting di RI. Ini yang menangani keamanan Kepala BNPT dan Kepala Bareskrim untuk berdialog karena dewan pertimbangan MUI yang terdiri dari pimpinan ormas Islam dan tokoh ulama Muslim dengan mengedepankan dialog. Kami meyakini dialog adalah kekuatan untuk menyelesaikan masalah masalah,” kata Din Samsudin di kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/2/2018)
Menurut Din, di dalam pertemuan tersebut pihaknya ingin mendengarkan masalah penanggulangan terorisme yang sudah dijalankan BNPT selama ini “Kita juga membahas penanggulangan terorisme dan juga terkait dengan isu-isu terakhir supaya ormas-ormas Islam juga bisa mendengar langsung dari Kabareskrim dan kepala BNPT,” kata mantan Ketum MUI ini.
Terhadap kejadian terakhir seperti kasus penyerangan gereja di Jogjakarta, Din meminta kepada semua pihak untuk tidak langsung mengambil kesimpulan sebelum meneliti secara benar. Sebab kesimpulan tersebut bisa menjadi bomerang.
“Kalau bisa disimpulkan itu karena orang gila, ya ini bisa menimbulkan, wah ini tidak bisa diselesaikan dan kemudian (dianggap) selesai dengan dalih orang gila. Karena nanti bisa ditanya balik, lha kenapa tiba-tiba dari Desember (2017) sampai sekarang sering muncul musimnya orang gila dan menyerang tokoh- tokoh agama? Nah ini yang harus dijelaskan oleh Polri,” ucap Din
Untuk itu terkait dengan adanya kekerasan terhadap tokoh agama, ulama dan perusakan tempat ibadah, dirinya meminta penyelidikan kasus segera dapat diselesaikan. “Kami minta segera diselesaikan. Karena korbannya ulama, kasus itu mudah menyulut kemarahan umat,” kata Din
Dirinya khawatir bila kasus tersebut tidak segera diselesaikan bisa menimbulkan reaksi umat Islam yang tidak proporsional serta saling tuding antara umat agama satu dengan yang lain. Karena rentetan kekerasan yang menimpa ulama, tokoh agama dan tempat ibadah pada akhirnya memunculkan persepsi di masyarakat bahwa kasus tersebut tidak berdiri sendiri.
Karena pendapat resmi MUI sebagai institusi juga menyimpulkan kasus kekerasan terhadap ulama merupakan bagian dari rekayasa sistematis. “Saya sebagai ketua dewan pertimbangan juga menyampaikan hal yang sama. Logika kami mungkin salah. Namun, logika kami menyimpulkan ada rekayasa dan rekayasa yang canggih itu membuat kasus-kasus itu seolah-olah berdiri sendiri,” tuturnya.
Din juga menyatakan bahwa pihaknya beserta ormas keagamaan lainnya percaya terhadap kinerja BNPT dan Bareskrim, utamanya dalam menangani kasus teror terhadap pemuka agama dan rumah ibadah.
Namun demikian, Wantim MUI menolak cara penanganan aparat berwenang yang mengaitkan aksi teror tersebut dengan Islam. “Terhadap terorisme saya kira um at Islam selalu menyerukan jangan kaitkan dengan Islam karena tidak ada akar dalam Islam tentang terorisme dan tindak kekerasan,” ujar Din.
Sementara itu, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Drs. Ari Dono Sukmanto, SH, MH. mengatakan dari bulan Desember 2017 hingga Februari 2018 ini pihaknya mencatat ada 21 kejadian kekerasan yang berkaitan dengan tokoh agama dan rumah ibadah.
“Namun semuanya itu tidak semua dilakukan oleh orang gila. Ada juga karena keramaian di media sosial, yang akhirnya membuat orang menjadi paranoid. Untuk itu janganlah menganalisis dari media sosial, tetapi berdasarkan fakta supaya ketemu,” katanya.