MUI: Dai Boleh Berpolitik Asal Tetap Jaga Ukhuwah dan Persatuan

Jakarta – Dai atau penceramah boleh saja berpolitik. Tapi ada
batasan-batasan dan norma harus dipahami bahwa tugas seorang dai
adalah menjaga ukhuwah, kerukunan, dan persatuan.

“Sebagai manusia, menurut semua bebas berpolitik, termasuk dai. Namun
jangan sampai peran dai dalam berpolitik membuatnya lupa  tugasnya
sebagai dai untuk menjaga persatuan dan persaudaraan umat,” kata Ketua
MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis.

Hal ini disampaikan Kiai Cholil dalam acara Silaturahim dan Halaqah
Dakwah di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (24/8/2023) sore
dengan tema “Urgensi Peran Dai dan Dewan Kemakmuran Masjid dalam
menjaga Ukhuwah di Tahun Politik”.

“Dai boleh saja berpolitik, boleh saja jadi jurkam, tapi ingat dalam
berkampanye harus tetap jaga ukhuwah umat. Jangan sampai memecah belah
umat dengan politik identitas,” ujar Kiai Cholil dikutip dari laman
Republika.co.id, Kamis (24/8/2023).

Kiai Cholil berpesan kepada para dai agar tidak salah dalam memahami
istilah politik identitas dan identitas politik.

“Politik identitas itu tidak boleh, karena politik identitas ini
memecah belah unat dengan narasi politik kebencian baik dari segi
suku, ras maupun agama. Adapun identitas politik itu adalah hak kita
semua, kita boleh punya identitas kepartaian, identitas agama  atau
lainnya,” ucap Kiai Cholil.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Muhammad Faiz
Syukron Makmun yang menjadi pembicara kunci menyampaikan pentingnya
para dai belajar pada masa lalu. Sehingga, menjelang Pemilu atau pada
pelaksanaan Pemilu dan  pasca Pemilu 2024 nanti, tidak menyampaikan
dakwah yang memecah belah umat.

Gus Faiz juga mengingatkan pentingnya para dai menjaga NKRI dari
pihak-pihak yang menginginkan bentuk khilafah atau lainnya yang tidak
sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa.

”Adalah tugas para dai mendewasakan umat dalam berpolitik, sehingga
perbedaan pilihan politik tidak menyebabkan perpecahan,” kata Gus
Faiz, begitu akrab disapa.

Dia menjelaskan, adanya perbedaan pilihan politik ini karena
pertimbangan kemaslahatannya berbeda. Sebagian meyakini kalau si A
yang menjadi presiden akan maslahat. Sebagian lainnya juga meyakini
kalau B yang menjadi  presiden maka akan membuat lebih maslahat.

“Jadi semua pihak harus memahami pilihan orang lain yang berbeda
jangan sampai mengkait-kaitkan prefensi politik dengan keimanan atau
keislaman seseorang,” jelas Gus Faiz.