Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak para politisi untuk mengedepankan akhlaqul karimah dalam berpolitik. Itu penting agar proses politik demokrasi berjalan dengan cara luhur.
“Dengan memiliki akhlaqul karimah, siapapun yang terlibat dalam politik akan memiliki pedoman universal untuk mengendalikan hasrat politiknya, sehingga berpolitik bukan hanya mencapai tujuan, melainkan melalui proses yang luhur,” kata Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Pusat KH Cholil Nafis dalam keterangannya, Rabu (21/6/2023).
Kiai Cholil mengucapkan hal tersebut pada Silaturahim dan Halaqah Dakwah dengan tema “Urgensi Peran Dai dan Dewan Kemakmuran Masjid dalam menjaga ukhuwah di tahun politik.” Acara ini dihadiri 100 dai di Aula Serbaguna Walikota Jakarta Pusat. Kegiatan itu digelar Komisi Dakwah MUI Pusat bekerja sama dengan MUI Kota Administrasi Jakarta Pusat. Selain KH Nafis, juga hadir KH Ahmad Zubaidi Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, Halman Muhdar Ketua Bawaslu Jakarta Pusat, dan anggota BPET MUI Irjen Pol (Purn) Ir Hamli, ME.
Kiai Cholil dalam paparannya menyampaikan bahwa kunci menjaga perdamaian di tahun politik ini adalah dengan memprioritaskan moralitas dalam berpolitik bagi para politisi dan pendukungnya.
“Terkait preferensi politik, seseorang dapat memilih berdasarkan selera masing-masing, mungkin karena kesamaan suku, agama, ras, atau alasan lainnya yang melibatkan emosi. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita tetap saling menghargai dan menghormati satu sama lain,” paparnya.
Menurut Kiai Cholil, hasrat politik tidak boleh mengabaikan individu di ranah publik yang menjadi simbol persatuan. Hal ini berarti ada tempat-tempat tertentu yang tidak boleh digunakan untuk kampanye atau mendukung calon atau pasangan calon, seperti masjid dan tempat ibadah lainnya.
“Jika masjid digunakan untuk politik praktis, misalnya hanya untuk kampanye calon presiden X, maka dapat
Kiai Cholil menegaskan, jika masjid digunakan untuk kepentingan politik, yang dimaksud adalah politik kebangsaan dan keadaban, yaitu politik yang bertujuan mempersatukan umat. Hal ini mencerminkan nilai-nilai politik yang luhur dan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia.
Sementara itu, Kiai Zubaidi, dalam kesempatan yang sama menekankan pentingnya bagi para dai dan pengurus masjid untuk lebih mengutamakan persatuan dan ukhuwah umat, dan tidak terjebak dalam hasrat politik yang tinggi sehingga terlibat dalam politik praktis.
Menurut Kiai Zubaidi, masjid dan dai adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, kesadaran untuk memainkan peran masing-masing dalam menjaga persatuan umat sangatlah penting, agar meskipun situasi politik memanas, ukhuwah umat tetap terjaga.
“Oleh karena itu, tempat ibadah sebaiknya bebas dari politik praktis. Hal ini dikarenakan preferensi politik umat yang beragam, sehingga tempat ibadah harus menjadi tempat yang luas dan nyaman bagi umat, tanpa adanya pengaruh politik yang mengganggu” katanya.
Kiai Zubaidi juga menyatakan bahwa perbedaan preferensi politik adalah hal yang wajar, dan oleh karena itu para dai harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa perbedaan tersebut tidak berdampak pada keyakinan agama mereka.
Oleh karena itu, para dai harus terus menghidupkan semangat ukhuwah, kehangatan, dan kedamaian. “Untuk menjaga DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) dan para dai tetap dalam jalur dakwah yang benar, mereka harus memahami konsep dakwah Islam wasathiyah, yaitu dakwah yang mengedepankan keseimbangan, solusi, dan dilakukan dengan cara yang santun,” tegas Kiai Zubaidi.