Yogyakarta – Muhammadiyah mendukung penuh program BNPT dalam penanggulangan terorisme di tanah air. Namun dukungan diberikan dengan beberapa syarat.
“Langkah-langkah menanggulangi terorisme ini adalah bagian problem bangsa yang harus kita hadapi dan pecahkan bersama. Apalagi ketika beberapa kali peristiwa teror itu selalu dikaitkan dengan agama, khusunya dengan kelompok islam. Itulah yang membuat Muhammadiyah punya komitmen untuk itu,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr. H. Haedar Nashir, M.Si saat menerima perwakilan BNPT yang dipimpin Kepala Satgas Perencanaan Program Kedeputian I Drs. Sujatmiko dan Staf Ahli Deputi I Dr. Sri Yunanto di Yogyakarta, Kamis (21/7/2016) malam.
Haedar Nashir menambahkan, Muhammadiyah memiliki semangat yang sama bahwa tidak ada toleransi terhadap bentuk terorisme apapun dan untuk apapun. Karena itu, Muhammadiyah siap mendukung dan bergabung dengan organisasi lain serta lembaga-lembaga terkait untuk mengenyahkan paham kekerasan dan terorisme di bumi Indonesia.
“Itu mutlak bagi semua pihak, baik Muhammadiyah maupun organisasi keagamaan yang lain. Apalagi bagi kepolisian dan TNI,” imbuhnya.
Namun, ia juga mengungkapkan bahwa ada beberapa catatan yang ingin disambung Muhammadiyah, agar ke depan program pencegahan itu bisa berjalan beriringan. Pertama Muhammadiyah memandang perlu adanya peta yang komprehensif tentang terorisme di Indonesia.
“Ini penting agar kita tidak sporadis dalam melakukan tindakan terkait terorisme. Jangan muncul teror di sana kita kejar di sana, muncul di sini kita kejar ke sini, karena kita tidak punya peta yang isinya dari berbagai aspek, para pengikut, aktor, teologinya, bahkan mungkin juga peta lokasi,” ungkap Haedar.
Dengan peta itu, ia yakin program pencegahan itu akan lebih massif. Apalagi itu didukung riset akademis. Haedar menilai peta itu menjadi penting karena landscape dan letak geografi Indonesia.
“Sesungguhnya Indonesia ini berbeda dengan Timur Tengah, Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Afganistan) yang sering disebut sebagai kantung radikalisme agama begitu kuat. Indonesia ini mayoritas moderat yang hilalnya Muhamadiyah NU, dan lain-lain dengan pengikutnya yang banyak. Dari situ Muhammadiyah berpikiran tidak mungkin dengan negara sebesar sebesar ini, di setiap sudut ada ancaman terorisme,” tuturnya.
Haedar mengumpamakan Indonesia sebagai kolam air. Muhammadiyah ingin ada pemetaan agar tidak terjadi generalisasi bahwa ‘ikannya didapat tapi airnya tidak terlalu keruh’. Dan ia yakin Muhammadiyah, NU, Persis, Al Wasliyah garis pandang keagamaanya juga moderat sehingga akan sependapat dengan perumpamaan ini.
Pandangan kedua, lanjut Haedar, mempengaruhi pandangan kedua yakni cara penanggulangan dan penindakan terorisme yang disebut Muhammadiyah sebagai blocking time. Artinya dalam penindakan terorisme harus dilokalisasi dan isolasi daerah yang benar-benar diyakini sarang teroris, sehingga sebuah daerah dicap begitu saja sebagai sarang teroris. Soal strateginya, itulah yang harus dibicarakan lebih dalam lagi dalam pembuatan program tersebut.
“Ini penting karena kami ingin tetap merawat arus besar kehidupan kita sebagai zone damai, zone terang, zone salami (darusalam),” ujarnya.
Berikutnya, kata Haedar, adalah dimensi pemahaman keagamaan. Menurutnya, memang ada potensi adanya paham keagamaan yang keras di Indonesia, sehingga pengikutnya juga menjadi ekstrem. Tapi itu sebenarnya tidak otomatis. Yang keras sendiri dinilai ada dua kelompok. Yang satu berpotensi menjadi pemicu dan pendorong tindakan teror pada sekelompok kecil masyarakat, tapi ada yang lainnya keras, ekstrem, dan militan.
Menurutnya, semua bangsa tidak pernah lepas dari konflik. Bahkan karena kelompok tertentu ada negara yang disebut sebagai negara perang dengan agama perang juga. Padahal Nabi Muhammad SAW yang notabene panglima perang, telah mengajarkan akhlak perang yaitu perempuan, anak-anak, dan mereka yang menyerah tidak boleh dilakukan kekerasan. Diakuinya, memang perang modern lebih ganas dari perang zaman Rasululloh SAW.
“Ada paham yang konteknya pembelaan diri, lalu direproduksi untuk kepentingan tertentu sehingga salah jalan. Seperti ada pondok pesantren tertentu yang direproduksi sehingga menjadi radikal. Konteks ini yang sebenarnya harus di deradikalisasi, meski kami kurang setuju dengan istilah deradikalisasi. Kami menilai deradikalisasi itu menggebyak uyah soal paham dan realitias faktual dan sebagainya. Kami kami tawarkan moderasi sejalan dengan islam moderat,” terang Haedar.
Pada kesempatan itu, Haedar juga menyampaikan Muhammadiyah tidak akan tertarik dengan tawaran-tawaran uang dalam membahas masalah ini untuk kepentingan kelompok tertentu. Bahkan Haedar pernah menyampaikan ke presiden tentang sikap organisasi yang dipimpinnya itu.
“Muhammadiyah tidak terlalu berkepentingan. Insya allah kami cukup mandiri dalam banyak hal dan tidak tertarik pogram-program seperti ini dijadikan kepentingan proyek. Kedua kami punya tradisi sebagai leader dari kelompok islam kepada umatnya, tapi rasional dan tidak pernah main belakang. Itu di jamin. tapi semangat amar makruf nahi mungkar memang tetap lugas,” urai Haedar.
Selain itu, Haedar menegaskan, Muhammadiyah tidak terbiasa memberi masukan yang justru kelihatan enak didengar dan meninabobokan, tapi justru menjerumuskan. “Kami suka memberi masukan, tapi dengan cara kami. Muhammadiyah punya 10 sikap kepribadian. Kami tidak akan lebih dari itu,” tukas Haedar.
Terakhir pesan Haedar adalah masalah penggunaan dana yang wajib menggunakan dana APBN.