Jakarta – Sikap yang moderat dalam beragama terbukti menjadi pemecah dalam kebuntuan komunikasi dan konsolidasi antara kelompok masyarakat dengan beragam latar belakang. Sikap moderat ini dalam ajaran Islam seringkali disebut dengan istilah wasathiyah, atau dikenal dengan moderasi beragama, jika merujuk pada frasa yang lebih universal. Moderasi beragama sebenarnya bukanlah hal baru, melainkan adalah sifat alami dari agama itu sendiri yang mendorong manusia memiliki hubungan yang baik dengan sesama.
Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Ag., menjelaskan bahwa ada urgensi yang dirasakan dan mendasari penerapan moderasi beragama. Konsep ini dianggap dapat menjembatani segala bentuk kekakuan sosial di tengah masyarakat akibat radikalisasi pemikiran dan agama. Radikalisme senantiasa dihembuskan oleh pihak-pihak yang cenderung menyukai kekerasan sebagai pilihan dalam mencapai tujuannya.
“Mereka yang terpengaruh dengan radikalisme dan terorisme tentu ingin memporak-porandakan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kelompok semacam ini ingin menghancurkan tatanan masyarakat yang telah terbangun dengan baik dan berdasar pada kearifan lokal. Dasar negara yang selama ini kita yakini adalah hasil dari founding fathers serta berdasarkan pada filosofi para leluhur bangsa, sehingga pada dasarnya Indonesia lebih mengedepankan harmoni, cinta kasih, kepedulian, dan mutual respect kepada siapapun tanpa ada batasan tertentu,” terangnya pada Jumat (22/12/2023).
Menurutnya, moderatisme atau sikap moderat adalah suatu cara pandang yang harmonis dan mengutamakan kedamaian antar makhluk Tuhan. Moderatisme sendiri bukanlah mazhab baru ataupun bid’ah seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak, justru esensi dari agama itu sendiri yang berada pada titik kesimbangan yang berada di tengah semua individu terlepas apapun latar belakangnya.
Konsep moderasi beragama, lanjut Syamsul, sesungguhnya berada dalam koridor dan ketentuan hukum agama, serta tidak sedikitpun menyeleweng dari ketentuan Tuhan. Bahkan bisa dikatakan bahwa ketika semakin memegang prinsip-prinsip ajaran Tuhan, umat akan memiliki cara pandang yang tawazun (bijaksana dan seimbang), ta’adul (adil), dan tasamuh (toleran dan saling menghormati).
Oleh karena menjadi cara pandang yang mengedepankan kesatuan dan kesetaraan di tengah keanekaragaman, moderatisme menjadi jalan untuk memahami bahwa keanekaragaman yang ada adalah kehendak Allah. Pada saat yang bersamaan, sikap yang moderat menjadi kekuatan untuk kembali kepada Allah.
“Moderasi beragama adalah cara yang paling arif dan bijaksana untuk mencari titik temu di antara berbagai perbedaan keimanan. Sikap ini memandang bahwa semua orang, terlepas dari perbedaan pemikiran, orientasi, dan cara pandangnya, pada akhirnya kembali kepada esensi yang sama, yaitu menjadi makhluk Allah yang menerima kodrat penciptaannya,” ungkap Prof. Syamsul.
Ia menambahkan bahwa kebutuhan akan pemahaman moderasi beragama juga tidak terlepas dari maraknya ideologi transnasional yang disebarkan dan menyelinap masuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahaya laten dari pemahaman ini adalah terkikisnya sikap toleransi terhadap keberagaman, bahkan bisa menihilkan budaya asli Indonesia yang sebetulnya sarat dengan pesan kebijaksanaan dan kebaikan.
Prof Syamsul menilai, radikalisme yang berbasis pada agama tertentu sebenarnya berakar dari gerakan ideologi. Maka dari itu, perlawanan yang sesuai adalah dengan menghadapinya melalui kontra ideologi yang efektif dan holistik, serta mengedepankan rasionalitas.
“Agama dan budaya bisa diibaratkan sebagai jangkar yang berfungsi menahan arus pembawa ideologi transnasional agar tidak menghanyutkan insan Indonesia dalam pengaruh negative,” tuturnya.
Akademisi yang pernah menulis buku “Radikalisme dan Terorisme: Perspektif Pendidikan Islam” pada tahun 2020 ini menambahkan bahwa dalam ajaran Islam, terdapat hadis yang indah mengenai makna muslim yang hakiki, yaitu “al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi,” yang berarti “seorang muslim sejati adalah yang dapat menyelamatkan muslim lainnya dari lisan dan tangannya (perbuatannya).” Hadits ini menekankan pentingnya menjaga ucapan dan perilaku kita agar tidak menyakiti orang lain.
“Perilaku, ucapan, dan bahkan pikiran kita, semuanya merefleksikan kedalaman keyakinan dan penghambaan kita kepada Allah. Setiap ucap dan laku memiliki konsekuensinya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak. Kecenderungan alamiah, perbuatan, dan keinginan hati kita, semuanya harus selaras dengan ajaran agama demi mewujudkan penghambaan yang hakiki kepada Tuhan Yang Maha Esa,” imbuh Prof. Syamsul.
Mengakhiri penjelasannya, dirinya mengajak kepada seluruh umat beragama agar berhati-hati dalam tutur kata dan perbuatan. Setiap individu di Bumi Pertiwi selayaknya bisa menjadi sosok yang menyebarkan kebaikan, menghindari keburukan, dan senantiasa menjaga keharmonisan sesama masyarakat.
“Karena itulah wujud sejati keimanan yang dicintai Allah,” tandas Prof. Syamsul.