Moderasi Beragama Perekat Semangat Beragama dan Komitmen Berbangsa

Surabaya— Penguatan moderasi beragama harus terus dilakukan untuk menjaga perdamaian dan persatuan di Indonesia. Pasalnya, moderasi beragama merupakan perekat semangat dalam beragama dan komitmen kebangsaan.

“Di sini lah pentingnya penguatan moderasi beragama yang merupakan perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa. Di Indonesia, beragama pada hakikatnya adalah ber-Indonesia dan ber-Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama,” ujar Staf Khusus Menteri Agama Mohammad Nuruzzaman saat berbicara Penguatan Moderasi Beragama pada Pembinaan Mental TNI Angkatan Laut di di Surabaya, Selasa (21/2/2023).

Bib Zaman, panggilan akrabnya, menjelaskan konsepsi dan urgensi Moderasi Beragama dalam acara Pembinaan Mental TNI AL yang berlangsung di Surabaya. Menurunya, Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem), yang mengesampingkan martabat kemanusiaan. Selain itu, berkembang juga klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik berpotensi memicu konflik.

“Tantangan lainnya adalah berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI,” terangnya Bib Zaman

Tantangan ini harus menjadi perhatian bersama agar tidak mengancam keutuhan bangsa. Menurut Bib Zaman, Indonesia adalah negara yang bermasyarakat religius dan majemuk. Meskipun bukan negara agama, masyarakat lekat dengan kehidupan beragama dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi.

“Menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan menjadi tantangan bagi setiap warga negara.” ujarnya.

Dijelaskan Zaman, moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Moderasi beragama juga menjadi sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, damai dan toleran sehingga Indonesia maju. Penguatan Moderasi Beragama pada dasarnya adalah menghadirkan negara sebagai rumah bersama yang adil dan ramah bagi bangsa Indonesia untuk menjalani kehidupan beragama yang rukun, damai, dan makmur.

Selain itu, penguatan moderasi beragama juga ingin menjadikan nilai agama sebagai fatsoen politik, bukan mempermainkan agama untuk kepentingan politik. Dalam konteks hukum, MB menekankan tujuan penerapan hukum yang memenuhi hajat hidup orang banyak dan kemaslahatan bersama, tanpa harus terlalu memaksakan formalisasi hukum agama.

Dalam konteks layanan publik, moderasi beragama berorientasi pada penyelenggaraan pelayanan publik secara adil untuk memenuhi hak-hak sipil tanpa diskriminasi.

“Moderasi beragama memberikan kebebasan mengekspresikan agama di ruang publik sesuai koridor hukum,” jelasnya.

Bib Zaman juga menjelaskan batasan sikap ekstrem dan tidak moderat. Seseorang dikatakan bersikap ekstrem dalam beragama, jika atas nama agama mencederai nilai luhur kemanusiaan. Esktrem juga jika atas nama agama lantas melabrak kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

“Termasuk tindakan ekstrem, melanggar ketentuan hukum yang menjadi panduan bermasyarakat dan bernegara,” tuturnya.

Terkait indikator moderasi beragama, ia mengatakan bahwa itu bukan hal absurd yang tak bisa diukur. Keberhasilan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat dari tingginya empat indikator utama serta beberapa indikator lain yang selaras dan saling bertautan.

Pertama, komitmen kebangsaan. Ditandai dengan penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi: UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.

Kedua, toleransi. Ditandai dengan sikap menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Termasuk di dalamnya, sikap menghargai kesetaraan dan kesediaan bekerja sama.

Ketiga, anti kekerasan. Misalnya, menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkan.

“Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya, ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama,” tandasnya

Hadir pada kegiata itu,Kepala Dinas Pembinaan Mental Angkatan Laut Brigjen TNI (Mar) Sandy Muchjidin Latief, S.IP. Pembinaan mental ini diikuti lebih dari 100 Marinir dan ASN TNI Angkatan Laut.