Malang – Moderasi beragama diperlukan sebagai jawaban dari tantangan
menuju Indonesia Emas 2045. Tantangan terbesar bukan datang dari
ekonomi, tetapi justru berasal dari human resources atau sumber daya
manusia (SDM).
“Indonesia Emas 2045 memerlukan human resources dari berbagai sektor
untuk berkontribusi nyata bagi pembangunan nasional. Pembangunan
tersebut tidak bisa berjalan dengan baik jika terjadi disharmoni
antara sesama,” ujar Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Suyitno
pada Dialog Moderasi Beragama Bersama Civitas Akademika Universitas
Brawijaya di Malang, Jumat (13/9/2024).
Menurut Suyitno, sikap moderat bukan hanya dalam bidang agama, tetapi
yang paling mendasar, sikap tersebut datang dari keluarga. Jadi sikap
moderasi harus diawali dan disemai dari level keluarga.
“Salah satu penentu keberhasilan dunia pendidikan, termasuk di
dalamnya pendidikan informal adalah berasal dari keluarga. Jika sikap
moderat sudah ditanamkan dari keluarga, maka institusi pendidikan
tinggal merawat dan mengembangkannya,” ujarnya.
“Bullying, blaming, saling menghujat menjadi ancaman serius bagi
investasi sosial di Indonesia. Maka menyiapkan generasi emas yang
moderat hukumnya wajib,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Suyitno menyinggung soal kegandrungan terhadap internet.
Ini ibarat dua sisi mata pisau, yang satu sisi memberikan keuntungan
informasi, tetapi di sisi yang lain menjadi potensi sumber disharmoni
penyebaran radikalisme dan intoleransi.
“Inilah pentingnya moderasi beragama dalam melihat isu-isu
intoleransi, blaming, atau pemberitaan hoaks di media sosial. Kita
juga perlu membuat dan menyebarkan konten kreatif yang edukatif
terkait moderasi beragama agar berimbang,” ungkapnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya civitas akademika tergerak untuk
menginsersi dan mendiseminasikan konten moderasi beragama di media
sosial dan website. Bahkan, menginsersinya melalui mata kuliah yang
relevan seperti agama dan penguatan karakter kebangsaan.