Jakarta – Radikalisme dan terorisme adalah bentuk kejahatan yang sangat kompleks. Walaupun berbagai aksi dan dampak buruknya bisa teratasi, namun bahaya latennya tetap menghantui. Hal ini disebabkan oleh bibit radikalisme yang sudah mengakar kuat dalam pemikiran, relatif sulit pendeteksiannya bila dibandingkan dengan tindak kejahatan lainnya. Maka dari itu, moderasi beragama menjadi rumusan yang mampu membendung hingga menghilangkan efek negatif pendangkalan dalil agama oleh kelompok radikal.
Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM PBNU), M. Najih Arromadloni, menjelaskan bahwa pengertian moderasi beragama itu tidak menciptakan agama baru, tetapi mengembalikan agama pada karakter aslinya yang memang sudah moderat.
“Sehingga tidak ada pemisahan antara agama yang moderat ataupun radikal. Agama itu pada dasarnya moderat, pemeluknya-lah yang membawa agama itu untuk tindakan ekstrem. Menjadi penting bagi kita untuk mengarusutamakan moderasi beragama ketika bermunculan penyakit di tengah masyarakat yang bernama ekstremisme. Istilah moderasi beragama kemudian digaungkan untuk menjadi solusi bagi semua,” terang pria yang akrab disapa Gus Najih ini, pada Rabu (20/12).
Ia mengatakah bahwa masyarakat tentu masih ingat bahwa Indonesia sempat mengalami turbulensi politik yang cukup keras karena permainan kelompok radikal yang menggoyang stabilitas nasional. Beberapa kali perhelatan pemilihan umum, baik di tingkat daerah maupun nasional, diwarnai dengan kerasnya politik identitas dan menjurus pada dikotomi murahan yang isinya “si baik melawan si jahat.”
Salah satu contohnya adalah peristiwa demonstrasi 212 di tahun 2016, persis sebelum Pilkada DKI dilangsungkan pada 20 April 2017. Politisasi agama yang dilakukan saat itu ternyata bisa menimbulkan efek berantai sedemikian besar. Show of force kelompok radikal yang menunggangi aksi 212 sebenarnya tidak terjadi secara instan, melainkan mereka telah menancapkan pengaruhnya pada beberapa instansi, mulai dari perguruan tinggi hingga pemerintahan.
Gus Najih menguaraikan, peristiwa demonstrasi 212 menjadi titik balik yang membuka mata banyak orang, bahwa ada persoalan intoleransi dan radikalisme yang harus ditangani dengan segera. Ormas-ormas seperti NU dan Muhammadiyah kemudian mulai bergerak dengan semakin banyak mempublikasikan narasi moderat ke tengah masyarakat. Ormas moderat inilah yang kemudian mendorong Pemerintah untuk membubarkan beberapa organisasi Islam radikal yang saat itu cukup kuat pengaruhnya.
“Kita bisa lihat bagaimana organisasi seperti Nahdlatul Ulama yang giat menuntut pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). NU juga terus menyuarakan supaya salafi dan wahabi itu bisa dibendung perkembangannya, karena dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan masyarakat kita yang bhinneka ini,” imbuh Gus Najih.
Mencuatnya berbagai aktivitas jaringan teror seperti Negara Islam Indonesia (NII), lanjut Gus Najih, juga sempat menyita perhatian publik. Pada perkembangannya, NII pun dimasukkan dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Kesadaran dan kewaspadaan yang terbangun dan ikut berkontribusi pada penetapan keputusan hukum ini tentu tidak lepas dari peran serta kaum moderat yang aktif di masyarakat. Mulai dari para kiai dan santri, serta aktivis moderasi beragama yang dengan segala upaya akhirnya bisa menjangkau masyarakat dengan lebih luas lagi.
Lebih lanjut, Gus Najih mengungkapkan bahwa perlu dipahami bahwa perhelatan politik dan radikalisme seringkali berjalan secara beriringan. Aksi yang dijiwai oleh radikalisme akan cenderung naik pada masa pemilihan umum di suatu negara. Tidak hanya Indonesia, aksi teror seperti ini juga mengakibatkan destabilisasi di banyak negara. Jaringan teror memiliki kesamaan pola dalam melakukan aksinya, salah satunya dengan menjadikan pemilihan umum sebagai pintu masuk propaganda radikal.
“Kita bisa lihat pada kota Peshawar yang ada di Pakistan misalnya, panggung kampanye dari kubu tertentu dihancurkan dan para pelaku teror melepaskan tembakan ke arah panggung hingga melukai dan menewaskan banyak korban. Begitu juga di Jepang, mantan Perdana Menteri Shinzo Abe, waktu dia sedang jadi juru kampanye dan menyampaikan pidatonya, lalu dia ditembak oleh radikalis yang bergerak secara lone wolf,” ungkap Gus Najih.
Menurutnya, aksi teror yang dilakukan kelompok radikal biasanya berbarengan dengan framing negatif terhadap suatu hal. Seperti di tengah upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal melakukan framing terhadap moderasi beragama. Mereka melakukan pembusukan terhadap istilah moderasi beragama, dianggapnya sebagai pelemahan terhadap agama dan mereka sangat menolaknya.
“Kenapa mereka harus anti? Padahal karakter inti dari agama itu sendiri, termasuk Islam, adalah moderat. Moderat itu dalam bahasa arab yaitu wasathiyah. Wasathiyah itu kan istilah yang ada dalam Quran. Ayatnya berbunyi “wa kadzaalika ja’alnaakum ummatan wasatho,” yang berarti “dan demikian itu Kami menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang wasathiyah,” tandas Gus Najih.