Jakarta – Kehidupan beragama di Indonesia sepatutnya dilakukan secara moderat, mengingat beragamnya adat dan kepercayaan di Bumi Nusantara. Konsep moderasi beragama menjadi jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian, kerukunan, dan persatuan di Indonesia. Konsep ini berusaha menempatkan kedudukan yang sama antara negara dan agama, sehingga masyarakatnya bisa mendapatkan kedua bagian tersebut secara adil dan merata.
Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG (Sekolah Kajian Stratejik dan Global) Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah, M.Si., Ph.D., memberikan pandangannya tentang makna dari moderasi beragama dan bagaimana menempatkan konsep tersebut dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Syauqillah yang juga aktif berperan sebagai pengamat isu terorisme dalam dan luar negeri, menyatakan tidak setuju jika konsep moderasi beragama disamakan dengan paham sekularisme. Moderasi beragama sendiri terdiri dari empat pilar, yakni punya komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kearifan lokal.
“Moderasi beragama adalah cara pandang beragama yang wajib dimiliki oleh seluruh insan Indonesia. Kalau dibilang sekularisasi, nampaknya kurang begitu tepat. Karena bagaimanapun juga, secara institusional, Indonesia menempatkan agama pada posisi yang tinggi dalam urusan kenegaraannya. Hal ini bisa ditunjukkan dengan adanya institusi Pemerintah yang namanya Kementerian Agama,” terang Syauqillah di Jakarta, Rabu (28/5/2024).
Ia menjelaskan bahwa ada beberapa produk perundang-undangan yang bisa dijadikan rujukan, bahwa Indonesia tidak menempatkan agama terpisah dari negara. Dengan demikian, konsep twin toleration (konsep yang menempatkan agama dan negara dalam posisi yang seimbang) sangat terasa sekali kehadirannya di negara Indonesia.
“Kolaborasi dan keseimbangan antara negara dan agama ditunjukkan dengan tingginya toleransi antar sesama. Bentuk sinergi ini ditunjukkan dengan adanya perundang-undangan tentang produk yang halal, pelaksanaan ibadah haji, dan zakat, serta perbankan syariah, yang diatur dengan sangat baik di Indonesia,” jelas Syauqillah.
Ia menyimpulkan bahwa tidak tepat jika moderasi beragama disamakan dengan sekularisme, karena moderasi beragama itu justru menempatkan cara pandang umat beragama sesuai dengan keadaan di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika moderasi beragama adalah cara Indonesia mengakui kehadiran agama dalam tiap sendi kehidupan bernegara.
Selain memberikan penjelasan tentang moderasi beragama, Syauqillah juga mengulas fakta bahwa mulai tahun 2023 lalu, tercatat nol kasus terorisme di Indonesia. Artinya nol kasus terorisme itu bukan berarti ancaman terorisme dan pengaruh radikalisme benar-benar hilang di masyarakat Indonesia.
“Memang angka serangan terorismenya nol, tapi jumlah yang ditangkap itu mencapai 147 orang. Kalau kita lihat 2024 ini, kita patut bersyukur hingga saat ini tidak ada serangan terorisme. Justru kita melihat banyak penangkapan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam organisasi teror,” ungkapnya.
Menurutnya, penangkapan yang masih terus terjadi di tahun 2023 hingga kini menunjukkan bahwa proses radikalisasi masih berjalan dibawah tanah. Penyebaran ideologi berbasis kekerasan semacam ini harus dipersempit ruang geraknya melalui regulasi Pemerintah dan peran aktif masyarakat dalam menerapkan moderasi beragama.
Ia menilai, persoalan terorisme di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, memiliki kaitan dengan terjadinya insiden serangan teroris pada gedung Twin Tower, World Trade Center, Amerika Serikat, 9 September 2001 lalu. Serangan ini seolah membuka mata banyak negara tentang kerusakan hebat yang bisa ditimbulkan akibat militansi dari gerakan teror.
Syauqillah menambahkan, selain penyerangan pada menara kembar WTC, Indonesia juga memiliki urgensi memberantas terorisme yang dipicu oleh tersebarnya informasi kelompok teror ISIS, dengan segala konflik yang mereka lancarkan. Mulai dari destabilisasi negara Suriah yang menyita perhatian dunia, hingga keterlibatan sebagian warga negara Indonesia yang “hijrah” dan menjadi kombatan di sana.
Akademisi jebolan Marmara University Istanbul ini berujar jika dampak konflik Suriah itu hingga hari ini masih menyusahkan warga negara Indonesia yang ada di kamp-kamp pengungsian Suriah. Hingga saat ini, masih belum ada keputusan kapan para pengungsi tersebut akan dikembalikan ke Indonesia.
“Faktanya, lebih dari 1000 orang Indonesia yang sebelumnya pergi ke Suriah, dan hingga kini, masih ada 500 orang yang tertahan disana,” imbuhnya..
Ia mengungkapkan bahwa destabilisasi banyak negara Timur Tengah dan negara lainnya akibat dimasuki ideologi transnasional ditengarai akibat penyalahgunaan ayat atau dalil agama untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Syauqillah berpendapat jika narasi intoleran dan radikal dari kelompok teror ini perlu diimbangi dengan narasi tandingan berupa moderasi beragama dan seruan toleransi.
“Menurut saya, maraknya politisasi ayat agama yang cenderung mengarah pada kekerasan ini perlu dilawan dengan narasi tandingan yang meluruskan makna dari dalil agama. Jangan sampai kemudian dalil-dalil agama ini digunakan untuk niat jahat kelompok teror, yang ini jelas bertentangan dengan ajaran dan semangat agama untuk menebarkan perdamaian sesama manusia,” pungkas Dr. Syauqillah