Tasikmalaya – Penguatan wawasan kebangsaan dan keagamaan menjadi kunci untuk mensukseskan program deradikalisasi terhadap mitra deradikalisasi atau mantan narapidana terorisme (napiter). Karena itu, sosialisasi pemahaman wawasan kebangsaan dan keagamaan kepada mitra deradikalisasi harus terus agar program deradikalisasi berjalan baik dan berhasil ‘menyembuhkan’ para mantan napiter.
Untuk itulah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar Silaturahmi dan Dialog Kebangsaan bersama mitra deradikalisasi di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (29/03/2023). Kegiatan tersebut digelar Subdit Bina Masyarakat, Direktorat Deradikalisasi BNPT bekerjasama dengan stakeholder terkait yaitu Densus 88,FKPT Jawa Barat, Kesbangpol Kota Tasikmalaya, Polres Tasikmalaya, Kodim Tasikmalaya, Binda, Dinas Ketenagakerjaan Kota Tasikmalaya, Baznas dan MUI Kota Tasikmalaya.
Sebanyak 19 orang Mitra Deradikalisasi yang tinggal di wilayah Kota Tasikmalaya mengikuti dialog keagamaan bersama Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid didampingi Kasubdit Bina Masyarakat Kolonel Pas. Drs. Sujatmiko. Mitra Deradikalisasi tersebut tergabung dalam perkumpulan yang bergerak secara aktif dalam bidang pencegahan Ppenyebaran paham radikal terorisme yaitu Yayasan Ansharul Islam yang digawangi oleh Anton Hilman dan kawan kawan.
Pada kesempatan itu, para mitra deradikalisasi atau mantan narapidana terorisme (napiter) yang kini telah kembali ke masyarakat berharap BNPT bisa terus memberikan penguatan wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan moderat. Itu sangat penting untuk membantu mitra deradikalisasi mengiks ideologi terorisme yang pernah dianut dahulu.
Salah satu mitra deradikalisasi, M Taufik mengharapkan bahwa kegiatan silaturahmi seperti ini dapat dilaksanakan secara berkala. Sehingga para mitra deradikalisasi dapat melakukan dialog dan bertukar pikiran terkait wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan. Ini penting agar para mitra deradikalisasi benar-benar ‘sembuh’ dari ideologi radikalisme dan terorisme yang pernah mereka anut, sekaligus kembali tulus mencintai tanah air Indonesia.
“Masih banyak mantan napiter yang membutuhkan materi wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan yang lebih moderat,” ujar Taufik.
Hal serupa dikatakan mitra deradikalisasi lainnya, Gilang. Menurutnya selama ini kelompok Islamis memiliki kesulitan untuk menjelaskan korelasi hukum negara di Indonesia dengan syariat Islam.
Menanggapi harapan mitra deradikalisasi itu, Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) KH Utawijaya, menyampaikan lima langkah bagaimana seseorang dapat memahami hubungan antara hukum negara dan hukum Islam.
“Pertama, seseorang harus memiliki kesadaran wujud bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan nama dan segala macam hal yang berbeda. Selanjutnya Kesadaran wujud akan berimbas kepada kesadaran privat atau pribadi bahwasanya saya lahir di Indonesia, beragama Islam, dan ditakdirkan oleh Allah untuk beragama Islam,” kata Kiai Utawijaya.
Selanjutnya, imbuhnya, kesadaran privat akan berpengaruh terhadap kesadaran publik yaitu sadar bahwa dia tinggal di ruang publik di mana mereka juga berada di tengah – tengah orang yang memiliki agama atau keyakinan, golongan dan suku bangsa yang berbeda. Kesadaraan publik terwujud saat mereka mampu menerima dan menghargai perbedaan (toleransi).
“Kesadaran publik yang terwujud akan menyentuh dan menuju kepada kesadaraan sistem yaitu menyadari bahwa tengah berada dalam sistem NKRI yang mana sejak tahun 1945 telah memiliki 4 konsensus kehidupan berbangsa dan benegara,” tutur Ketua FKPT Jabar itu.
Kelima, lanjut Kiai Utawijaya, saat kesadaran sistem sudah dapat diterima akan membentuk kesadaraan religi bahwa apa yang dilakukan merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.”
Sementara itu, Direktur Deradikalisasi mengharapkan para mitra deradikalisasi menjadikan puasa Ramadhan ini dapat menjadi momentum untuk memupuk toleransi antar sesama dan menjadi salah satu langkah untuk menggelorakan sikap anti terhadap kekerasan.
“Saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan tidak perlu untuk melakukan kegiatan sweeping dengan menutup tempat – tempat makan. Karena pada dasarnya puasa adalah upaya untuk menenangkan hati dengan mengontrol diri dan hawa nafsu. Sehingga puasa dapat menjadi media untuk menambah pahala baik yang berpuasa maupun tidak,” ucapnya.
Nurwakhid menambahkan bahwa, Pancasila bukan agama dan tidak akan mengganti agama. “Pancasila adalah dasar negara, ideologi pemersatu bangsa yang digali dari nilai – nilai luhur agama dan budaya nusantara. Sehingga sila–sila dalam Pancasila merupakan perintah Allah di dalamnya merupakan substansi dalam beragama,” jelasnya.
Ketua Baznas Tasikmalaya H Nasihin menambahkan pentingnya untuk memahami falsafah dan ideologi dasar berbangsa dan bernegara, di mana hal ini merupakan kristaliasai syariat dan nilai – nilai agama. Sehingga Ramadhan ini dapat menjadi salah media untuk untuk menanamkan nilai – nilai moderat dalam hubungan lintas agama.