Milad ke-112 Muhammadiyah, Momentum Refleksi Perjalanan Persarikatan Berkontribusi Nyata bagi Kemajuan Bangsa

Jakarta – Milad Muhammadiyah diperingati setiap tahun pada 18
Novembermomentum untuk merefleksikan perjalanan panjang Muhammadiyah
dalam memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa, khususnya di
bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat, sesuai
dengan nilai-nilai Islam yang berkemajuan.

Tahun 2024 ini, tema Tanwir Muhammadiyah yang mengusung judul
“Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua” menegaskan komitmen organisasi
ini dalam memperjuangkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh
masyarakat. Melalui tema tersebut, Muhammadiyah menekankan pentingnya
peran strategis organisasi dalam menciptakan keadilan sosial, ekonomi,
dan spiritual.

Sejarah lahirnya Pancasila tidak lepas dari Muhammadiyah. Hal itu
terungkap dari diskusi melalui aplikasi zoom yang digelar oleh Maarif
Institute dan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Uhamka yang
menghadirkan sejumlah pembicara yakni  Ketua PP Muhammadiyah
Hajriyanto Y. Thohari, Sejarawan Anhar Gonggong, Dosen Pendidikan
Sejarah FKIP Uhamka Lelly Qodariah, dan Dekan FKIP Uhamka Desvian
Bandarsya, Rabu (15/7/2020).

“Sejarah itu sering kali hanyalah biografi dari orang-orang besar
meskipun kata-kata itu berlebihan. Banyak sekali para ahli filsafat
sejarah yang mengkritiknya, misalnya Herbert Spencer. Tapi nyatanya
memang peran orang besar itu sangat besar dalam sejarah, termasuk di
dalamnya adalah sejarah kelahiran Pancasila dasar negara kita yaitu
peran orang-orang besar sangat menentukan. Kebetulan sejarah
orang-orang besar Muhammadiyah yang sangat besar di dalamnya,” jelas
Hajri.

“Mas Mansyur itu sebelumnya berkedudukan di Jakarta dan karena
keterlibatan Mas Mansyur semakin intensif dan ekstensif. Artinya,
intensif itu sangat mendalam dalam pergerakan nasional untuk mencapai
cita-cita kemerdekaan. Maka, Mas Mansur melepaskan kedudukannya
sebagai ketua Muhammadiyah dan kemudian digantikan oleh Ki Bagus
Hadikusumo,” ungkap Hajri.

Menurutnya, memang itu bukan hanya dalam fenomena kelahiran Pancasila
saja, tetapi peran tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam pergerakan Indonesia
itu sangat besar. Apalagi menjelang kemerdekaan sampai awal-awal
kemerdekaan itu peran pemimpin-pemimpin pergerakan Muhammadiyah memang
luar biasa. Hajri menyampaikan bahwa saat pendidikan Jepang, muncul
empat serangkai. Salah satu dari empat serangkai itu adalah Mas
Mansyur, Bung Karno, Bung Hatta dan Ki Hajar Dewantoro. Empat
serangkai ini sering mewakili Indonesia dalam pertemuan-pertemuan atau
negosiasi-negosiasi dengan tentara pendudukan Jepang.

Hajri juga menguraikan, ketika BPUPKI membentuk panitia delapan yang
berperan sebagai ketua prakarsa karena tidak sesuai dengan
keterwakilan politik Indonesia berubah menjadi Panitia Sembilan. Kalau
dilihat secara ideologi penambahannya bagaimana latar belakang
ideologi politik Panitia Sembilan. Sembilan itu 4 orang golongan
Islam, yaitu Agus Salim dan Abikusno Cokrosuyoso, Kahar Muzakir dan
Abdul Wahid Hasyim. Empat orang dari golongan nasionalis yaitu Hatta,
Ahmad Soebardjo, Muhammad Yamin dan A.A. Maramis. Lalu Bung Karno,
posisinya di tengah-tengah.

“Dari empat orang Muhammadiyah telah menyetujui untuk mencoret 7 kata
itu. Maka, dibawa ke dalam sidang menjadi usulan Hatta dan mulus tanpa
halangan. Apa arti dari 4 orang itu tidak berhasil. Saya tidak
berlebihan kalau mengatakan sejarah Pancasila adalah sejarah
Muhammadiyah,” tegas Hajri.

Sejarawan Anhar Gonggong menyepakati apa yang dijelaskan oleh Hajriyanto.

“Saya sepakat sebenarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan dalam arti
kata bagaimana peranan Muhammadiyah dalam proses itu tidak ada yang
bisa menyangkal, itu faktual. Sejarah Pancasila adalah sejarah
Muhammadiyah artinya dalam proses ketika negara ini berproses
membentuk dirinya sebagai bangsa dan memproklamasikan diri sebagai
negara merdeka. Lalu pada esok hari 18 Agustus 1945 bisa mendirikan
Negara, yang memang karena orang Muhammadiyah. Bung Karno sendiri
mengaku saya orang Muhammadiyah. Dia pernah menjadi anggota
Muhammadiyah di Bengkulu, dulu ya seperti itu. Jadi memang Anda tidak
bisa berbicara tentang Pancasila tanpa menyebut tokoh-tokoh
Muhammadiyah,” jelas Anhar.

Dekan FKIP Uhamka Desvian Bandarsyah melengkapi pernyataan Hajriyanto
dan Anhar. “Muhammadiyah hemat saya perlu melakukan tafsir melalui
kader-kadernya, kata Mas Abdul Mu’ti itu perlu merebut tafsir. Tafsir
terhadap Pancasila itu perlu direbut setelah Muhammadiyah memastikan
perjalanan Pancasila di era awal kemerdekaan atau sebelum kemerdekaan.
Mengingat masa lalu Muhammadiyah melalui kader-kader utamanya, telah
berhasil menampilkan Pancasila dengan sangat elegan,”  kata Desvian.

Terakhir, tambah Desvian pernyataan dari Hajriyanto tentang  this is
the fact bahwa sejarah Pancasila adalah sejarah Muhammadiyah tidak
bisa dibantah.

“Pernyataan itu telah diungkap pula oleh Pak Anhar Gonggong sebagai
sesepuh sejarawan Indonesia pada hari ini. Kenapa begitu, karena
Muhammadiyah telah memberikan pengorbanan terbesar bagi kader-kader
utamanya itu terutama dalam menjaga Pancasila bagi kesatuan bangsa
Indonesia. Tokoh-tokoh itu orang-orang besar dalam sejarah
Muhammadiyah, orang-orang besar bagi negara Republik Indonesia. Itu
bagian penting itu yang perlu ditelaah oleh generasi hari ini,”
pungkasnya