Dari sekian banyak ancaman serius yang ditimbulkan oleh terorisme, FTF (Foreign Terrorist Fighter) jelas menjadi salah satu aspek yang tidak bisa dipandang sepele.Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Suhardi Alius bahkan berulang kali menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah bergabung menjadi FTF memiliki potensi bahaya yang luar biasa; mereka tidak lagi sama seperti sebelumnya, bahkan anak-anak mereka sudah tidak main layang-layang lagi, melainkan main senjata; dan ini jelas berbahaya.
Bahaya FTF ini pun disadari betul oleh banyak negara, terutama negara-negara yang kerap dijadikan persinggahan para FTF baik untuk masuk maupun keluar dari kawasan konflik, seperti Turki dan Singapura. Hasilnya, negara-negara yang dimaksud memberlakukan sistem screening ketat kesiapapun yang menginjakkan kaki di kawasan mereka. Tidak akan ada ampun untuk orang-orang yang diduga memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris; mereka akan langsung ditendang balik kenegara mereka masing-masing. Tidak terkecuali, dan ini yang sangat mengerikan, Indonesia.
Jumlah WNI yang telah ditendang balik dari luar negeri atas dugaan keterlibatan dengan kelompok teroris cukup besar.Catatan BNPT menunjukkan bahwa, hingga sore kemarin, rabu (25/01/17), jumlah FTF yang dijemput dari bandara Soekarno Hatta sudah mencapai angka 49 orang. Angka ini jelas banyak, terutama karena 49 itu hanyalah puncak dari gunung es, artinya, di bawah mereka masih ada banyak lagi WNI yang baik secara diam-diam maupun terang-terangan mendukung ajaran-ajaran kekerasan yang mereka kira benar-benar untuk kepentingan membela Tuhan (terorisme).
Untuk merespon fenomena ini, pemerintah Indonesia sebenarnya telah meningkatkan pengamanan dan kesiapan dalam memproses para FTF yang dideportasi dari negara luar. Satgas FTF BNPT dan petugas imigrasi selalu siaga di bandara Soekarno Hatta untuk langsung memproses setiap FTF yang kembali ke bumi pertiwi. Hanya saja, berdasarkan field case terbaru, para FTF ini sepertinya mulai memainkan modus baru, sebuah modus yang akan ‘menyelamatkan’ mereka dari aparat negara.
Salah satu hal yang dilakukan oleh FTF adalah meminta kepada petugas di negara yang mendeportasi agar tidak dipulangkan lewat bandara Soekarno Hatta, di mana sederet aparat negara sudah siap siaga menunggu kedatangan mereka.Tujuan baru yang mulai di incar sebagai jalan kembali pulang adalah Bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali.
Para FTF ini tampaknya mulai main kucing-kucingan dengan aparat; mereka berpindah dari kawasan ‘pasti tangkap’ di bandara Soekarno Hatta menuju kawasan ‘bisa lari’ di bandara Bali. Pola baru ini perlu segera diwaspadai, terutama karena pola penegakan hukum di negeri ini belum mengikuti pola ini.
Hal ini masih ditambah pula dengan fakta bahwa RUU anti terorisme yang memasukkan secara khusus pasal FTF masih terkatung-katung nasibnya hingga saat ini. Karenanya, aparat tidak memiliki payung hukum yang kuat untuk melakukan needed actions terkait penanganan FTF. Selama ini, penangkapan yang dilakukan oleh aparat hanya didasarkan pada kebijakan pimpinan strategik yang menganggap FTF sebagai ancaman berbahaya.
Karenanya, hal utama yang perlu segera dilakukan adalah update pola penegakan hukum. Termasuk di dalamnya adalah segera mensahkan RUU anti terorisme. Jangan sampai kejahatan yang dilakukan oleh FTF menjadi Routine Activities sebagaimana dijelaskan oleh Cohen danFelson dalam “Social Change and Crime Rate Trends” (1979).
Dalam penjelasannya, mereka menyebut bahwa terjadinya kejahatan hanya membutuhkan satu hal; kesempatan. Artinya, kejahatan tidak harus dilakukan oleh seorang yang sudah professional, punya pengaruh besar, atau oleh orang-orang dengan kekuatan super. Kejahatan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja selama ada satu hal itu; kesempatan.
Bahaya utama dari kejahatan yang telah menjadi routine activities adalah hilangnya kesadaran dan kewarasan masyarakat terhadap makna dan rupa kejahatan itu sendiri. Pola yang biasa terbentuk adalah, kejahatan yang sudah menjadi kebiasaan akan cenderung menemukan pembenaran. Atau dengan kata lain, hal jahat yang telah dibiasakan lama-lama akan mengabur menjadi sebuah kebenaran, tidak lagi jahat, bukan lagi bejat. Karenanya kejahatan harus dilawan, bukan malah dibiasakan. Mendiamkan kejahatan termasuk dalam pembiasaan yang dimaksud.
Dari beberapa variabel yang disebut Cohen dan Felson tentang crime dalam routine activities, meningkatnya tindakan kriminal dapat disebabkan oleh ketiadaan aparat penegak hukum. Dalam konteks ancaman FTF untuk Indonesia, ‘bolongnya’ keberadaan aparat di beberapa titik penting keluar masuknya FTF jelas berpotensi pada meningkatnya bahaya terorisme. Hal ini perlu diantisipasi segera, terutama dalam mengontrol mobilisasi WNI yang dikembalikan ke Indonesia.
Perang melawan terorisme memang tidak akan pernah usai, berbagai improvement terus dilakukan pemerintah untuk memastikan ajaran kekerasan ini tidak mendapat tempat di masyarakat. Meski begitu, perang anti terorisme bukan hanya tanggung jawab pemerintah, masyarakat harus pula ikut bahu membahu membantu agar terorisme tidak menjadi routine activities yang pada akhirnya nanti akan mengaburkan rupa kejahatan. Percaya saja, agama menentang segala bentuk kekerasan, karenanya ketika ada orang yang mengajak untuk ‘berjihad’ namun dengan cara yang jahat; jangan dengarkan, segera laporkan!