Jakarta – Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana kasus terorisme memang sangat luar biasa. Memang jumlah narapidana kasus terorisme sendiri yang ada di seluruh Rumah Tahananan Negara (Rutan) maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang ada di Indonesia jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan narapidana kasus kriminal lain pada umumnya. Namun hal tersebut tentunya tidak boleh dianggap sepele
Hal tersebut dikatakan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Dra. Sri Puguh Budi Utami, Bc.IP, M.Si, dalam sambutannya pada acara Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Dirjen PAS dengan Deputi II bidang Penindakan dan Pembionaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Penandatanganan PKS ini sendiri dilakukan oleh Deputi II BNPT, Irjen Pol Drs, Budiono Sandi, SH,M.Hum bersama Direktur Jenderal (Dirjen PAS) Kemenkumham, yang berlangsung di Hotel Gran Mahakam, Jakarta, Rabu (5/12/2018).
“Dimana sekarang ini jumlah narapidana kasus terorisme yang menghuni Rutan maupun Lapas yang ada di Indonesia ada sebanyak 590 tahanan dan narapidana. Meski cuma 590 orang, tapi mereka ini daya rusaknya juga sangat luar biasa. Jadi penanganannya juga sangat luar biasa, tidak bisa sepele menanganinya,” ujar Dirjen PAS Dra. Sri Puguh Budi Utami, Bc.IP, M.Si di acara tersebut.
Dikatakannya, jumlah penghuni Rutan dan Lapas yang ada di Indonesia sendiri saat ini mencapai lebih dari 253 ribu orang dari berbagai kasus kriminal. Tahanan dan napi yang terbesar menurutya adalah dari kasus narkoba dimana terdiri dari pengedar, bandan dan pengguna.
“Tapi kalua kita membandingkan dengan kondisi negara seperti Australia yang isi narapidana kasus terorismenya juga tidak seberapa tapi penanganannya juga sangat luar biasa. Demikian juga kalaa kita melihat di Malaysia dan negara lain, penaanganan napi terorisme ini juga sangat luar biasa,” kata wanita yang untuk pertama kalinya di Indonesia menjadi Dirjen PAS dalam mengurusi narapidana ini.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan bahwa Penandatangan PKS ini adalah tidak lanjut dari penadatanganan Memo of Understanding (MoU) antara BNPT dengan Kementerian Hukum dan HAM pada 30 Mei 2018 lalu. “Tentunya hal tersebut harus ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) agar implementatif apa yang diharapkan dengan kegiatan bisa optimal dilaksanakan,” katanya
Dirinya mengakui bahwa memang tidak mudah dalam mengimplementasikan PKS tersebut, karena yang terberat adalah bagaimana pihaknya yang tidak terpapar paham radikalisme ini bisa menjadi semangat bagi para petugas yang bekerja dan menjalankan tugas di dalam Lapas
“Karena ada suatu fakta bahwa beberapa petugas atau pegawai kami pun ada yang terpapar paham radikalisme tersebut. Tentunya ini menjadi tugas tambahan manakala ada penguatan kapasitas pegawai tentu tujuannya adalah kami menjadi bagian yang menyelesaikan urusan, bukan kami yang menjadi masalah,” katanya menjelaskan
Untuk itu menurutnya dengan adanya perjanjian kerjaama yang ditandatangani bersama BNPT ini diharapkan bisa memperkuat dalam pelaksnaaan di lapangan dengan mengedepankan konsepsi pemasyarakatan.
“Yang mana intimya bahwa apapun hakekat dari pemasyarakatan itu adalah pemulihan kesatuan hidup, kehidupan penghidupan warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat. Tentunya pelaksanaan PKS ini bisa menjadi landasan kita untuk bekerja dan berkinerja,” ujarnya mengakhiri sambutannya.