Terorisme tidak boleh memiliki ruang di masyarakat. Harapan ini bisa jadi tidak berlebihan bila melihat respon masyarakat menyusul aksi terorisme di jalan Thamrin di Jakarta beberapa waktu lalu. Melalui berbagai poster, di-deklarasi-kan kebulatan tekad tidak takut melawan terorisme. Berarti, masyarakat dengan perangkat sosialnya sesungguhnya telah siaga. Siap melawan terorisme ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ini warning kepada setiap teroris agar segera pergi dari perkampungan.
Tidak takut menghadapi terorisme terbukti, kegaduhan di pusat kota Jakarta hanya berlangsung sesaat. Bahkan berselang sehari, lokasi peledakan di jalan MH Thamrin dijadikan arena foto selfie. Sedangkan di seluruh perkampungan telah dilakukan siaga keamanan. Perangkat sosial akan menjadi pertahanan semesta. Pertahanan semesta ini akan menjadi metode sistemik (dan masif) oleh masyarakat untuk mempertahankan ketenangan lingkungan.
Konstitusi telah mengamanatkan keterlibatan masyarakat dalam pertahanan negara. Terbukti efektif pada berbagai situasi sulit. Dirasakan kekuatannya oleh penjajah maupun pengkhianat dari dalam negeri. Misalnya, terjadi pada perang merebut Jayakarta, serta perang Diponegoro (1825-1830). Juga perang revolusi, serta menghentikan pengkhianatan PKI. Khusus terhadap PKI, masyarakat sudah berpengalaman dua kali menghadapi teror pembunuhan, tahun 1948 dan 1965.
Karena teroris direkrut oleh kelompok ekstrem dari kalangan pemuda kampung. Maka boleh jadi, pengalaman menumpas teroris komunisme (ekstrem kiri) akan menjadi cara untuk melawan teroris dari ekstrem kanan. Kedua ekstremis, kanan maupun kiri, sama bahaya; menjadi ancaman keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Masyarakat pasti akan melibatkan diri secara sukarela, tanpa diminta.
Keterlibatan rakyat dalam pertahanan negara merupakan budaya Indonesia yang diadopsi (dan dikukuhkan dalam konstitusi). UUD pasal 30 ayat (2) menyatakan, “Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
Aksi teror oleh ekstrem kanan maupun kiri, sesungguhnya berujung pada ke-ideologi-an. Rakyat semesta melawan, karena tidak sesuai dengan kebiasaan sosial budaya ke-Indonesia-an. Lebih lagi dilakukan secara paksaan, melaui kekerasan psikis maupun kekerasan fisik, pasti akan dilawan. Bahan yang “disusupkan” (antara lain melaui buku paket pendidikan) akan segera cepat diketahui. Penyusupan yang diketaui diantaranya terjadi di Jombang (Jawa Timur).
Buku mata pelajaran Pendidikan Agama untuk kelas XI semester II, disusupi tentang ajaran “membolehkan” membunuh kaum musyrik. Ini tidak sesuai (berlawanan) dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan. UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, mengaku kesusupan ajaran radikalisme. Buku paket yang sudah beredar di seluruh Indonesia itu sempat meresahkan ulama. Sebab sangat dikhawatirkan, transformasi pengetahuan tentang paham radikal dapat menyebabkan suburnya pemahaman fundamentalisme keagamaan. Maka penarikan buku paket harus pula disertai penelusuran terhadap penulis dan penerbit.
Pada sisi lain, diperlukan komitmen pemerintah untuk tidak membiarkan propaganda ekstrim kiri. Ini juga bisa memicu dendam (reaksi) ekstrim kanan yang geregetan. Selain itu, ekstrem kanan juga memiliki “basic” lawan laten. Yakni, berbagai penyimpangan hukum oleh aparat pemerintah, serta maraknya kemaksiatan melalui hiburan malam.
Pertahanan semesta harus digerakkan dengan memberi insentif khusus pula. Masyarakat membutuhkan insentif, terutama kemudahan memperoleh nafkah secara berkeadilan. Sebab nafkah (yang lancar) bisa menenteramkan masyarakat. Ini bekal utama ketangguhan sosial. Rakyat tidak akan kepincut ajaran radikalisme (kanan maupun kiri), manakala berkecukupan sandang dan pangan.