Palangka Raya – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya dengan budaya. Tercatat, lebih dari 360 suku bangsa yang tersebar di seluruh negeri. Keberagaman inilah yang menjadi identitas dan daya tarik tersendiri bagi bumi nusantara. Namun, bagi kaum ekstremis dan fundamentalis, kearifan lokal tidak sejalan dengan nilai nilai agama. Kearifan lokal dianggap dapat menyebabkan deislamisasi, dan pendangkalan aqidah. Pemahaman seperti inilah yang perlu dihilangkan, karena tidak berdasar dan dapat memantik perpecahan antar sesama anak bangsa.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) provinsi Kalimantan Tengah, Prof. Dr. H. Khairil Anwar, M.Ag, beranggapan bahwa seseorang dapat menjadi muslim yang kaffah apabila ia dapat menjalankan agama dengan penuh keyakinan, sambil tetap menghargai kearifan lokal yang menjadi identitas tanah airnya. Ia mencontohkan bagaimana falsafah Huma Betang (Rumah Betang) mampu memberikan solusi pada berbagai tantangan masyarakat. Rumah Betang merupakan rumah panjang yang dihuni oleh beberapa keluarga Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
“Dalam falsafah tersebut terkandung makna kekerabatan, dan kesetaraan. Mereka mampu hidup rukun dan harmoni dalam satu atap meskipun terdiri dari beberapa keluarga dengan latar belakang dan agama yang berbeda. Di sana terdiri dari beberapa agama, termasuk juga tradisi-tradisinya, nah di sana ada kesetaraan antara keluarga,” ungkap Khairil di Palangka Raya, Kamis (17/10/2024).
Khairil menambahkan, meskipun dikenal bukan etnis yang berasal dari budaya Timur, namun kearifan lokal Suku Dayak mengandung nilai nilai luhur yang bisa diterapkan oleh seorang muslim dalam beribadah dan bernegara. Misalnya, bermusyawarah, gotong royong dan saling menghargai meskipun bukan pemeluk agama yang sama.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Tengah menganggap ketakutan adanya deislamiasi dan pendangkalan aqidah dalam menjaga kearifan lokal bukanlah alasan logis. Bahkan, para Walisongo mengkolaborasikan budaya dan kearifan lokal dalam penyebaran agamanya. Seperti Sunan Kalijaga yang membumikan wayang dengan nilai nilai keislaman dalam kisahnya. Hal ini terbukti ampuh dalam menarik minat masyarakat kala itu yang mayoritas bukan beragama Islam.
Menurut Khairil, salah satu indikator dalam moderasi beragama adalah, akomodatif terhadap kearifan lokal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip agama. Tinggal bagaimana saling toleransi satu sama lain, tanpa harus mengkalim paling baik. Sebaliknya, apabila terdapat nilai nilai yang tidak sejalan dengan syariat, baiknya ditinggalkan tanpa harus mencela.
“Kita jangan menyalahkan tradisi atau kepercayaan orang, karena dalam Pancasila, Undang Undang 45 pasal 29, bahwa negara menjamin kepercayaan masing masing.”
Guru Besar Pemikiran Islam Kontemporer dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini mencontohkan Tarian Manasai dari Suku Dayak misalnya, meskipun pada dasarnya tarian tersebut menggunakan pakaian yang terbuka, memperlihatkan aurat, namun dengan adanya tenggang rasa dan saling menghormati, kini banyak penari yang menggunakan pakaian tertutup.
“Mahasiswa kita (IAIN Palangka Raya) melakukan juga, bisa menari ketika ada tamu kehormatan datang, namun pakaiannya tidak terbuka, tapi sudah pakai jilbab. Jadi saya kira budayanya tetap, tapi nilai Islamnya masuk di situ,. Bahkan itu bisa dianggap islamisasi, atau dakwah Islam,” tambahnya.
Khairil menganggap, nilai agama, dan kearifan lokal bisa menjadi menjadi benteng, atau keseimbangan dalam menjawab tantangan masyarakat modern. Menurutnya, nilai nilai modernisme, kemajuan teknologi, harus diseimbangkan dengan nilai nilai etika dan spiritual untuk mencegah timbulnya individualisme dan egoisme di masyarakat.
“Merangkul kearifan lokal bukan berarti menanggalkan prinsip-prinsip syariat, tetapi justru memperkuat akar Islam di dalam kehidupan bermasyarakat,” tandas Khairil Anwar.