Pentingnya Mengetahui Akar Persoalan Radikalisme
Tanpa bermaksud menggurui siapapun, karena korbisnis penulis adalah pencegahan terorisme, maka judul menyoal kepedulian yang dimaksud adalah terkait dengan kepedulian terhadap berkembangnya radikalisme, intoleransi dan terorisme. Tema ini muncul lantaran kepedulian sesungguhnya tidak hanya bisa diberikan sebatas pada tataran wacana, saran pendapat, atau prediksi dan pretensi tanpa mengetahui pokok permasalahannya, yakni tentang persoalan mengapa terorisme, radikalisme dan intoleransi senantiasa tumbuh subur akhir-akhir ini.
Hampir semua orang akan terkaget-kaget manakala terjadi ledakan, ada korban, dan –apalagi—jika pelakunya adalah orang yang dikenal masyarakat sebagai orang baik, rajin beribadah, serta tidak memiliki catatan kriminal apapun. Maka tidak heran jika kemudian muncul banyak pengamat, baik di media cetak maupun elektronik yang akan mengatakan bahwa ada keterpengaruhan lingkungan, ajaran dan doktrin sesat yang membuat seseorang yang dikenal baik di masyarakat tiba-tiba menjadi sosok yang jahat.
Analisis seperti di atas tentu saja benar, hanya saja, karena hanya sedikit pengamat yang pernah bersentuhan dan berdialog langsung dengan para teroris, maka kajian yang ditampilkan kebanyakan hanya mentok pada pendekatan yang sangat terbatas, misalnya kajian psikologis, kriminologis dan sosiologis. Dan sering sekali, kajian psikologis dijadikansebagai kajian tunggal.
Teroris Adalah Orang Normal
Analisis ini penulis ambil setelah penulis berdialog hampir dengan semua level pelaku, baik di dalam penjara maupun dengan mantan pelaku, keluarga dan tetangga serta keluarga pelaku. Kalau kita bertanya kepada tetangga pelaku di mana pelaku ditangkap, hampir semua mengatakan tidak tahu kalau tersangka itu adalah teroris, karena perilaku mereka sama dengan masyarakat yang lain. Mereka rajin beribadah, ramah dan melakukan hal-hal lain yang membuat masyarakat tidak segan untuk memberikan komentar positif tentangnya. Profesi yang dijalanipun beragam, ada yang jualan bubur, buka bengkel sepeda motor, service handphone, dll. Artinya, kehidupan mereka normal saja.
Kalau kita lakukan pendekatan psikologis kepada mereka, dipastikan mereka bukanlah kelompok paranoid, anti sosial, bipolar atau inadequate. Sehingga menurut penulis, psikologis akan sangat diperlukan dalam penentuan tipologi kepatuhan untuk menentukan level garapan deradikalisasi dalam menentukan mana tingkatan hardcore, mana semi atau midlecore dan mana softcore, pendekatan ini juga sangat membantu dalam proses identifikasi dan konseling.
Fakta dari beberapa kasus yang terjadi di Indonesia juga menunjukkan hal serupa; bahwa mereka adalah orang-orang yang berkehidupan normal, beberapa dari mereka malah ada yang berpendidikan tinggi. Di Malaysia, ada akademisi terkenal dari University of Malaka, DR. Mahmoed Achmad, tetapi ia justru menggerakan sel radikal di Sabah.
Karenanya, untuk mengetahui terorisme secara lebih utuh, semua kajian akademis perlu digunakan secara berimbang dan bertanggungjawab. Bagi penulis, disiplin ilmu yang paling mendekati inti sasaran intoleransi, radikalisme dan terorisme adalah ilmu “komunikasi”. Penulis ingin mengungkap beberapa komunikasi terhadap beberapa teroris di Indonesia (tanpa menyebut nama ) dari level tokoh prominen sampai ke level operasional, yakni sebagai berikut;
Pertama; Pada level operasional, penulis pernah berdialog dengan seorang lawyer di sekitar Jakarta yang mengaku mengalami perubahan pola pikir akibat komunikasi. Yang bersangkutan mengatakan bahwa dirinya menjalin komunikasi yang begitu intens dengan salah seorang personil satgas bom (yang kini menjadi pati polri eks kapolda Jambi) pasca penangkapan terhadap dirinya. Hal ini membuatnya tersadar akan berbagai kekeliruannya tentang konsep jihad, hijrah dan daulah. Ia mengaku sampai bersedia bekerja di kebon singkong milik mantan personil satgas tersebut sebagai tukang kebun.
Menurutnya, mantan personil satgas bom itu tidak henti-hentinya berkomunikasi dan mengajarkan konsep ekonomi yang lebih baik, termasuk pula konsep hijrah dan realitas kehidupan yang harus dihadapi. Dasar itulah membuat dirinya mengerti arti penting belajar. Ia pun memilih untuk belajar lebih serius hingga kini ia akhirnya menjadi seorang lawyer.
Begitupun salah satu sahabat sang lawyer yang sekarang banyak aktif menyuarakan perdamaian di banyak tempat, mulai dari kampus-kampus hingga komunitas pemuda dan wanita di perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang digarap oleh BNPT melalui FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme). Dia menyadari konsep terdahulu yang diberikan oleh para seniornya di kelompok teroris itu keliru. Untuk itu, karena masih relatif muda, ia lebih senang membantu dakwah negara dan menjadi instruktur fitnes profesional. Ia pun mengaku bersyukur masih diajak berkomunikasi sehingga bisa seperti sekarang ini.
Kedua; di level koordinator dan operasional, penulis bertemu dengan mantan napi terorisme Poso yang tertangkap pasca operasi penegakan hukum tanggal 22 Januari 2007. Ia kini sudah selesai menjalani hukumannya dan tinggal di salah satu komplek perumahan di Bekasi. Hidup normal dengan istri bekerja sebagai seorang guru. Ia tinggal bertetangga dengan anggota Polri yang dulu sempat dianggap musuh (thogut ). Ia mengaku memang mengalami kesulitan, utamanya terkait dengan kekhawatiran akan munculnya stigma buruk dari masyarakt terhadap dirinya yang mantan teroris. Ia takut stigma tersebut akan mempengaruhi kehidupannya dan anak istrinya.
Ketakutannya yang lain adalah, saat ini ia tidak bisa membuat kartu tanda penduduk (KTP) karena syarat pendukung untuk membuat KTP tidak dimilikinya. Dia tidak punya kartu keluarga (KK) karena selalu berubah nama dengan KTP palsu untuk mempermudah perjuangan dan pergerakan serta untuk mengelabuhi aparat. Sedangkan KK istri masih mengikut KK mertua. Ia pun menyadari betapa ‘perjuangan’ yang dilakukan pada masa lalu sia-sia dan hanya menjadi mudlarat. Bayangkan, orang yang tidak bersalah di Tentena harus dibom. Kini ia banyak berkomunikasi dengan penulis untuk bertanya tentang banyak persoalai, mulai tentang situasi kekinian, konsep mensejahterakan, hingga konsep mendidik anak agar sukses.
Masih dari Poso, penulis bertemu di lapas Palu dengan seorang pelaku penembakan siswi dengan M 16 di Poso. Dia menyadari bahwa negara begitu intens berkomunikasi dengannya. Karena komunikasi itulah, walaupun yang bersangkutan berstatus pelaku dalam rutan, negara menikahkannya dengan wanita idamannya setelah berkomunikasi dengan satgas bom saat itu. Menurut dia, mungkin hanya di Indonesia ada teroris boleh menikah dalam status tahanan. Untuk itu, ia yakin bahwa komunikasi yang dilakukan negara terhadap napi, mantan napi dan keluarga napi merupakan hal yang sangat penting. Komunikasi ini terbukti berhasil mengubah mindset dan cara pandang napi teroris, mantan napi dan keluarga teroris.
Ketiga; di level manejer. Suatu hari penulis berputar-putar di daerah Pekayon, Bekasi. Dari satu perumahan yang lain penulis telusuri satu persatu. Penulis ingin bertemu dengan salah satu mantan petinggi teroris yang pernah mendekam di penjara. Dia adalah “amir darurat” Jamaah al Islamiyah (JI) Indonesia yang terlibat dalam bom Bali, Marriot, kedubes Australia, dll. Penulis pernah berkomunikasi via telpon dengan yang bersangkutan sebelumnya dan mencatat alamat beliau, sayangnya, saat hendak mencari alamat yang bersangkutan, hp penulis mengalami kerusakan hingga semua data yang ada di dalamnya hilang.
Terpaksa penulis mencari alamat tersebut dengan berkeliling berputar-putar di sekitar Pekayon. Akhirnya, setelah dua jam lebih, rumah yang dicari ditemukan. Menarik, begitu bertemu, beliau peluk penulis dengan sangat akrab seperti halnya seorang ayah bagi penulis. Beliau mengatakan ada kerinduan ingin ngobrol dengan penulis setelah bertemu terakhir tahun 2008. Beliau tidak mau lagi terlibat kekeliruan besar seperti masa lalu. Beliau ingin berjihad dengan menjadi guru agama dan ingin mendirikan pesantren di Subang.
Saat itu beliau sedang mengurus surat-surat tanah. Ada tokoh sentral lain yang penulis temui di lapas Porong Jawa timur. Dia adalah jebolan Alumni Afganistan. Dia adalah ahli Bomb untuk kelompok Al Jamaah al Islamiyah. Perjuangan amaliyah yang lalu dilakukannya di Filipina Selatan. Sehingga dia menikah dengan mualaf di sana. Banyak keahlian membuat bom yang sudah dipraktekannya.
Pemerintah Amerika bahkan memasukkan namanya dalam most wanted person bersama tokoh Dulmatin. Dari komunikasi intens dengan penulis beliau berulang kali mengatakan bahwa perjuangan yang lalu itu keliru. Dia ditangkap di luar negeri karena terlibat kasus Jantom Aceh.
Salah satu hal yang unik dari sosok ini adalah sikap tegasnya untuk menolak melakukan aksi teror atau serangan di Indonesia. Kalau mau berjuang membela Islam, katanya, maka berangkatlah ke Afganistan atau Palestina.
Kalau mau, dia bisa saja merancang bom yang lebih besar dari rancangan pertamanya; bom Bali. Ia tinggal perlu mengubah teknik sedikit saja, maka bom ciptaannya tentu akan lebih dahsyat, atau jika ia mau, ia bisa saja membuat bom dari bahan kimia, namun ia tidak melakukan semua itu. Ia telah benar-benar sadar bahwa ‘jihad’-nya di masa lalu keliru.
Ia kini telah kembali ke ibu pertiwi. Ia bahkan telah rela dan sangat bangga saat ditunjuk menjadi pengerek bendera merah putih pada upacara hari nasional di lapas Porong beberapa waktu yang lalu. Saat pertemuan dengan penulis, ia bahkan menyarankan untuk dilibatkan dalam negosiasi pembebasan sandera WNI yang ditawan oleh kelompok Abu Sayyaf (saat dialog berlangsung, kelompok Abu Sayyaf sedang menyandera kapal dan beberapa WNI ). Ia tidak meminta apapun sebagai bayarannya, ia melakukan ini semua sebagai bentuk kecintaanya terhadap NKRI.
Ia hanya minta diberikan telepon agar dia bisa bernegosiasi. Dia mengaku masih mengenal banyak tokoh senior di kelompok Abu Sayyaf. Penulis tidak menanggapi permintaan itu lantaran saat itu sudah ada satuan tugas khusus negara untuk bernegosiasi dengan Abu Sayyaf. Intinya, menurut dia komunikasi adalah penting. Dia menyarankan aparat harus banyak berkomunikasi seperti yang dilakukan oleh penulis.
Keempat ; tokoh paling mematikan, sang perancang Bom Bali. Ia adalah sosok yang merakit 1,2 ton explosive dan rdx yang menewaskan 202 orang di Bali. Ia sangat menyesali perbuatannya di masa lalu, ia juga menyesalkan kejadian bom di Thamrin, Samarinda, dll. Ia mendukung adanya revisi undang-undang anti terorisme, ia juga sangat mendukung adanya komunikasi yang intens antara pemerintah dengan pelaku, keluarga, serta pihak-pihak yang berpotensi menjadi radikal lainnya.
Secara jantan ia menganggap hukuman seumur hidupnya sebagai balasan atas pelanggaran pidana yang ia lakukan di masa lalu. Ia sangat terbuka dengan berbagai saran pencegahan terorisme, yang kebanyakan ia sebut dalam bentuk dialog.
Dari komunikasi intens penulis dengan beberapa tokoh serta dari berbagai dialog tentang bagaimana menghadapi kelompok radikal secara efektif, penulis menyimpulkan terdapat tiga elemen yang dapat digunakan untuk memotong rantai penyebaran terorisme, yakni; 1) ustadz atau ulama yang memiliki kemampuan lebih baik daripada mentor kelompok teror, dengan catatan bahwa ustadz ini dapat diterima oleh kelompok teroris. 2) Eks teroris yang telah menyadari kesalahannya dan kesalahan ajaran teror, atau insider yang mampu mempengaruhi para hardcore, 3) aparat negara, seperti halnya penulis, yang intens menjalin komunikasi dengan target waktu tertentu.
Artinya, diperlukan kepedulian kita semua untuk berkomunikasi dengan mereka, kelompok teroris. Hal ini penting dilakukan guna mengalahkan terorisme. Jangan kucilkan mereka, jangan lagi ada stigma buruk tentang mereka, utamanya yang telah menjadi mantan teroris. Ingat, mengucilkan mereka sama halnya dengan merelakan mereka menjadi teroris.