Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin

Menteri Agama: Mahasiswa Harus Kritis Sikapi Hoax

Jakarta – Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin, mengimbau mahasiswa agar bersikap kritis terhadap dinamika informasi, termasuk di antaranya kritis dalam menyikapi berita hoax (bohong) yang tersebar di dunia maya. Menag juga meminta mahasiswa tidak semestinya menjadi pihak yang ikut menyebarkan hoax.

Imbauan Lukman Hakim Saifuddin itu, disampaikan untuk menyikapi fenomena yang terjadi saat ini. Di mana sebagian besar orang tidak terbiasa mengidentifikasi terlebih dahulu kebenaran berita yang diterima. Masyarakat bahkan berlomba-lomba menjadi orang pertama yang menyebarkan sebuah berita, tanpa mengetahui kebenarannya.

“Dalam ajaran agama juga diajarkan bahwa kalau datang kepadamu kabar maka kita harus kritis. Setiap kabar separuhnya mengandung kebenaran, separuhnya lagi berpotensi kebohongan,” kata Lukman, saat menjawab pertanyaan peserta Kongres ke-4 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Perguruan Tinggi Islam (PTAI), di Jakarta.

Sementara itu, peneliti sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo, Mediana Handayani, Senin (16/10/2017) mengatakan, merebaknya hoax, terorisme, dan cyberbullying juga mencuri perhatian kalangan akademisi. Sejumlah kampus saat ini tengah gencar melakukan pemetaan gerakan literasi digital di Indonesia.

Mediana Handayani, bersama 56 peneliti dari 26 universitas melakukan pemetaan gerakam literasi di Indoneaia sepanjang periode 2010–2017. Hasilnya, perguruam tinggi berada di posisi tertinggi pelaku kegiatan literasi digital, yakni sebanyak 56,14 persen dari 324 kegiatan yang diteliti.

Kemudian, pemerintah menempati posisi kedua (14,34 persen), komunitas (13,52 persen), LSM (5,32 persen), sekolah dan korporasi masing-masing 3,68 persen dan terakhir media hanya 0,4 persen. Bisa dikatakan, perguruan tinggi adalah motor gerakan literasi digital. Kalangan remaja dan pelajar menjadi sasaran utama kegiatan literasi digital ini.

“Remaja dan pelajar masuk dalam kelompok paling rentan dan dianggap paling banyak terpapar pengaruh buruk dari media digital. Di sisi lain, remaja juga sebagai agen perubahan yang bisa mengambil bagian dalam mengatasi persoalan digitalisasi dalam masyarakat,” jelasnya.

Menurut Mediana, meluasnya hoax, meningkatnya cyberbullying, kuatnya ujaran kebencian ataupun banyaknya konten pornografi dan kekerasan, bahkan kejahatan pedofilia terjadi karena gerakan literasi digital di Indonesia cenderung bersifat sukarela, insidental, sporadis dan belum tersinergi antara para pelaku kegiatan.

“Hasil penelitian juga merekomendasikan agar kegiatan literasi digital harus lebih digiatkan. Sebab, perguruan tinggi tidak dapat berjuang sendiri meskipun saat ini dia menjadi motor perubahan,” pungkasnya.