Jakarta – Napak tilas momentum bersejarah antara Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, diabadikan menjadi salah satu perayaan umat Islam yang dikenal dengan Idul Adha. Idul Adha, yang dikenal juga sebagai Idul Qurban memiliki kisah keikhlasan pengurbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang rela menyerahkan anaknya Nabi Ismail sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah SWT. Belakangan ketika Nabi Ismail akan disembelih, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan hewan.
Peristiwa tersebut mengisyaratkan sebuah ujian kesetiaan, ketundukan dan kerelaan diri manusia untuk menyembelih kepentingan diri, ego dan sifat kebinatangan manusia yang cenderung berbuat brutal dan ekstrem.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Darud Da’wah Wal Irsyad (PB DDI), Dr. Suaib Tahir, Lc, M.A mengatakan, kisah Nabi Ibrahim AS adalah salah satu contoh kongkrit yang memiliki tingkat keimanan yang sangat tinggi sehingga apapun yang diperintahkan Allah kepadanya dia siap melakukan termasuk bersedia menyembelih anak kesayangannya.
“Ini dibuktikan kesediaan Nabi Ibrahim melakukan pengorbanan, meskipun pada akhirnya bahwa perintah tersebut hanya sebatas ujian kepada Nabi Ibrahim untuk menguji sampai di mana ketaatannya terhadap perintah Allah. Mereka yang taat kepada Allah tidak akan mempedulikan kepentingangnya apalagi kepentingan materi dan kemewahan, tetapi semua diserahkan kepada Alah untuk mencapai ridhonya,” ucap Suaib Tahir di Jakarta, Kamis (29/6/ 2023).
Lebih lanjut Kyai Suaib mengatakan, momentum ini sesungguhnya menjadi kesempatan bagi kita untuk selalu belajar dan mentadaburi bahwa sesungguhnya Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk mengikis rasa ego, mengedepankan persaudaraan dan solidaritas antara sesama umat manusia.
“Sehingga, Idul Adha tidak bisa dipahami hanya sebagai ritual tahunan, tetapi lebih dari itu adalah harus mentadabburi agar kita benar benar menjadi umat yang bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.
Menurut dosen Pascasarjana di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta ini, berkurban dalam arti sesungguhnya adalah bagaimana kita mengikis rasa egois, rakus, tamak dan memberi yang terbaik untuk orang lain. Suaib mengatakan, berkurban menjadi salah satu indikator tingkat solidaritas dan keimanan yang tinggi terhadap Allah SWT.
“Betapa banyak orang yang memiliki uang yang cukup untuk membeli kurban tetapi belum tentu siap dan bersedia untuk berkurban,” ujar Kyai Suaib.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan dua sosok yang sangat mengagumkan, keduanya adalah Nabi yang totalitas dalam mencintai Allah. Nabi Ibrahim lahir di tengah-tengah situasi kekuasaan yang sangat bengis yaitu Raja Namrud, yang dengan mudah membunuh siapa saja yang membantah dan tidak mengakui sebagai Tuhan.
“Meskipun Nabi Ibrahim dibakar, Nabi Ibrahim konsisten dalam pendiriannya, beriman kepada Tuhan sebagai pencipta langit, bumi dan semua yang di dalamnya,” ujarnya.
Menurutnya, Nabi Ibrahim tidak hanyak fokus terhadap kesalehan individual, melainkan ia juga memikirkan keluarga, turunannya dan negerinya. Tak heran, jika Nabi Ibrahim diakui sebagai panutan dan bapak para Nabi yang patut kita teladani demi persatuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
“Sebagaimana yang kita temukan dalam Al Quran, Nabi Ibrahim mendoakan agar menjadi negeri yang aman, damai dan mendapatkan rezei dari langit. Oleh karena itu Nabi Ibrahim adalah contoh yang patut yang kita teladani, karena ia bukan saja selalu mendoakan dirinya dan keluarganya tetapi juga untuk negerinya,” ucap Suaib, yang mendapatkan gelar pascasarjananya dari Islamic University Khartoum, Sudan.
Selain itu, salah satu hikmah di Bulan Haji ini adalah menunjukkan kepada umat Islam di seluruh dunia bahwa meskipun mereka berbeda beda suku etnis dan negara warna kulit dan bentuk wajah tetapi mereka adalah satu, satu tujuan dan satu kiblat yaitu Kabah, Allah dan rasulnya, Nabi Muhammad SAW. Ini tentu menunjukkan bahwa umat Islam sangat menghargai dan bertoleransi terhadap yang lain. Karena walaupun kita berbeda beda tetapi sesungguhnya sama.
“Jika kelompok ekstreem berusaha menciptakan ekslusivisme, intoleransi di masyarakat dan menganggap orang lain bukan bagian dari dirinya, maka hal ini harus dihilangkan. Sebab cara berpikir seperti itu, bertentangan dengan nilai nilai dan ajaran Islam yang sangat menghormati perbedaan,” ujar anggota Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Kyai Suaib menambahkan, dalam ibadah haji dilarang saling mencela bertengkar dan melakukan tindakan apapun yang merusak termasuk mencabut pohon dan atau memotong pohon di jalan. Ini adalah petunjuk bahwa dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif dalam kehidupan sosial kita harus menghindari perbuatan-perbuatan yang tercela misalnya saling menjatuhkan dan saling memojokkan.
“Oleh karena itu hikmah-hikmah yang terkandung dalam perayaan Hari Raya Idul Adha, atau yang juga disebut Hari Raya Haji dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam membangun masyarakat yang damai,” kata Kyai Suaib mengakhiri.