Betapapun garang dan sangarnya seseorang, bahkan hingga berani berkoar tidak takut akan kematian, di sudut hatinya yang terdalam tentulah ada perasaan ingin aman. Terutama jika dirinya secara fisik pernah mengalami tidak enaknya cedera, merasakan sakitnya saat harus dijahit karena luka sobek dengan minim anestesi dalam situasi terjepit dan jiwa terancam. Rasa sakit ini pun masih akan terus berlanjut karena proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama dan terkadang ada radang dan infeksi.
Rasa sakit akan berlipat, dan bahkan akan terasa luar dalam manakala yang terluka adalah sosok pemimpin yang –dalam kondisi apapun— harus tetap memerintah, memberikan arahan, memberikan contoh dan mengambil keputusan. Sakit luar dalam inilah yang kini sedang dipikul oleh Abu Bakar al Baghdadi. Pimpinan tertinggi kelompok teroris ISIS ini kini menampakkan wajah aslinya.
Tentu masih ingat dalam benak kita betapa seorang al baghdadi mengalami stress yang luar biasa saat pasukannya digempur pada tanggal 14 Febuari 2017 yang lalu oleh pasukan SAA (Syrian Arab Army) di dekat kota Palmyra (Tadmur ) yang menewaskan 200 anak buahnya. Al Baghdadi pun tambah pening saat mengetahui bahwa belasan petinggi kelompok pimpinannya ikut meregang nyawa oleh serangan udara yang dihantamkan oleh pasukan Irak.
Serangan jet tempur Rusia ke kota Palmyra di provinsi Homs selama seminggu, siang dan malam, untuk merebut kembali wilayah ini dari ISIS juga berakhir manis. Provinsi yang luasnya lebih kurang 550km persegi itu bisa dibebaskan hanya dengan 90 kali serangan. Hal ini membuat al Baghdadi berang bukan kepalang. Namun alih-alih ikut turun berperang, pria maniak kekerasan ini justru memilih untuk menghilang.
Sikap kecut-nya ini justru kontradiktif dengan perintah-perintah sadisnya selama ini. Pada tanggal 3 November 2016 yang lalu misalnya, setelah menghilang cukup lama, al Baghdadi muncul tiba-tiba dan langsung menyerukan kepada anak buahnya untuk bertempur sampai mati. Dalam pidato yang direkam dan disebarluaskan oleh ISIS itu tampak jelas betapa pria yang mengaku sebagai pimpinan umat muslim di seluruh dunia ini menyerukan “jangan mundur” atau “bertahan dengan hormat seribu kali lipat lebih mudah ketimbang menyerah dalam malu”.
Berkali-kali pula ia gelorakan semangat itu dan selalu mengatakan “ini adalah apa yang telah dijanjikan oleh Allah dan rasulnya,” hingga pada akhirnya, 9 Maret 2017 menjadi hari yang tidak akan mudah dilupakan dunia. Kita semua menyaksikan ramai kabar perihal kaburnya pemimpin tertinggi kelompok ISIS dari kota Mosul, kota yang diklaim sebagai ibu kota untuk negara Islam ala ISIS. Ia tidak menyertai anak buahnya bertarung hingga mati, seperti perintahnya. Sebagai gantinya, ia lari untuk menyelamatkan diri, seolah sudah tidak tertarik dengan janji 72 bidadari di surga.
Al Baghdadi dikabarkan lari ke padang gurun, ia tutupi tubuhnya dengan penyamaran, namun orang sudah terlanjur mengetahuinya. Ia diberitakan berjalan sendirian, sempoyongan, penuh luka, dan sangat menderita.
Khawatir kondisinya semakin memburuk, ia –seperti diberitakan oleh stasiun TV Irak Al Sumaria pada 28 Februari 2017—memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk bersembunyi atau kabur meninggalkan kota Mosul. Sumber-sumber terpercaya juga mengatakan pimpinan tertinggi kelompok ISIS itu meminta anak buahnya untuk menyelamatkan diri. Hal ini ia sampaikan dalam sebuah pidato yang ia beri judul “Pidato perpisahan”.
Sementara untuk milisi ISIS asal luar negeri, ia perintahkan kepada mereka untuk pulang ke negeri masing-masing, dan jika mengalami kesulitan untuk pulang, ia perintahkan ke anak buahnya yang malang itu untuk melakukan bom bunuh diri di manapun mereka berada sambil terus menggoda mereka dengan janji 72 bidadari yang menanti mereka di surga, entah di mana.
Pertanyaan, jika ia sendiri rajin meminta anak buahnya untuk bunuh diri, lantas kenapa dia malah asyik bersembunyi?
Rupanya seiring dengan proses pelariannya meninggalkan pasukannya yang meregang nyawa, sang pemimpin dengan menahan pedih luka akibat serangan di Al-qaim bersembunyi di tengah-tengah keluarga pro isi di gurun. Dia memilih tempat bersembunyi di mana masyarakatnya tanpa senjata sama sekali. Dia pun tidak menggunakan alat komunikasi apapun untuk menghindari pelacakan dan penyadapan. Ia juga perintahkan pasukan level duanya untuk bertahan.
Lalu, di manakah dia bersembunyi?
Ada tiga kemungkinan; pertama, di gurun Niniwe yang ada di sebelah barat Suriah menuju Raqa. Kedua, di gurun Anbar ke arah al-qaim, menuju gurun Nukhayb perbatasan Yordania, atau ketiga, di gurun Barat mosul ke salaheddine ke Matibijah antara provinsi salaheddine dan Diyala.
Lantas, kenapa ia –yang mendaku diri sebagai khalifah— tidak ikut mengejar 72 bidadari seperti yang ia janjikan ke anak buahnya?
Al Baghdadi, apakah luka goresmu telah mematikan semangatmu untuk mendirikan daulah global? Kenapa anak buah kau tinggalkan dan biarkan bertahan? Apakah dalam pelarianmu, kamu juga mengenakan pakaian wanita agar tidak terlacak seperti halnya pelaku bom Makassar dulu? Atau kenapa kamu tidak lakukan bunuh diri sebagaimana yang engkau arahkan pada anak buahmu? Kenapa pula Indonesia kau ajak ajak terlibat?
Ah, banyak sekali pertanyaan yang ingin saya tujukan untuk Al Baghdadi, sayang pria yang sempat dianggap garang ini ternyata tidak lebih dari seorang pecundang. Ia menghilang saat anak buahnya perang, kabur saat kelompoknya mulai hancur.