Jakarta – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo mengaku kerap mencopot oknum PNS yang terpapar paham radikalisme dan terorisme. Hal ini disampaikan Tjahjo saat menghadiri rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk tantangan reformasi birokrasi: persepsi korupsi, demokrasi dan intoleransi di kalangan PNS di Jakarta, Minggu (18/4/2021).
Tjahjo awalnya mengungkap paham radikalisme sangat erat kaitannya dengan praktik intoleransi. Dia menyayangkan banyak kehilangan orang-orang pandai di lingkungan pemerintahan akibat hal ini.
“Kami banyak kehilangan orang-orang pintar yang seharusnya dia bisa duduk di eselon 1, yang dia seharusnya bisa duduk di eselon 2, yang seharusnya dia bisa menjadi kepala badan atau lembaga tapi dalam TPA (tes potensi akademi) dia terpapar masalah-masalah radikalisme dan terorisme,” kata Tjahjo.
Tjahjo mengaku telah mengantongi seluruh data dan bukti-bukti yang memperlihatkan hubungan oknum PNS tersebut dengan paham radikalisme. Ke depannya, dia meminta agar semua pihak menjadikan peristiwa ini sebagai evaluasi.
“Ini tanpa ampun kami sudah ada datanya, semua lewat medsosnya dia pegang, kemudian kedua PPATK saya kira harus kita cermati secara bersama-sama,” tegasnya.
Selain dugaan radikalisme dan terorisme, Tjahjo juga memberi sanksi pemecatan kepada oknum PNS yang terciduk menggunakan narkoba dan obatan-obatan terlarang, serta yang terlibat praktik korupsi.
“Walaupun saya masih cukup sedih hampir tiap bulan saya memutuskan dalam sidang badan kepegawaian masih ada saya harus saya putuskan PNS yang harus saya putuskan, PNS yang harus saya non-job-kan atau saya berhentikan karena dia punya paham radikalisme dan terorisme. Dia tidak memahami area rawan korupsi, dia pengguna narkoba dan pengedar. Tiga hal ini lah yang saya kira masih jadi bagian daripada sebagian kecil PNS kita yang kita cermati bersama,” ungkapnya.