Beirut – Menteri Luar Negeri Lebanon, Charbel Wehbe, mengundurkan diri setelah menyebut beberapa negara Teluk sebagai pendukung atas kebangkitan kelompok ISIS di Irak dan Suriah.
Dikutip dari Al Monitor, Jumat (21/5), persoalan yang membuat Wehbe mundur bermula ketika dia hadir dalam acara bincang-bincang di stasiun televisi Alhurra pada Senin lalu.
Saat itu, Wehbe berdebat sengit dengan bintang tamu lain yang dihadirkan dalam acara itu. Saat itulah Wehbe melontarkan pernyataan yang dinilai menyudutkan Saudi dan sekutunya, yang dianggap sebagai pendukung kelompok teroris ISIS.
“Mereka adalah negara yang saya cintai, negara sahabat dan penuh persaudaraan tetapi mereka yang membawa ISIS,” kata Wehbe saat itu.
Wehbe juga menyebut salah satu lawan bicaranya sebagai “orang Badui Arab”, dan kemudian dia pergi meninggalkan acara itu.
Pernyataan Wehbe membuat Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Bahrain berang. Masing-masing negara itu lantas memanggil duta besar Lebanon yang diutus dan meminta penjelasan.
“Terkait perkembangan situasi terbaru dan hal-hal yang terkait setelah penampilan saya di acara bincang-bincang di stasiun televisi nasional, dan supaya pernyataan tidak membahayakan Libanon dan penduduknya, maka saya menemui presiden dan meminta supaya saya dibebastugaskan dari posisi menteri luar negeri,” kata Wehbe.
Presiden Lebanon, Michel Aoun lantas menunjuk Menteri Pertahanan Libanon, Zeina Akar, sebagai pengganti Wehbe.
Sedangkan Pelaksana Tugas PM Lebanon, Hassan Diab, menyatakan mereka ingin tetap membina hubungan baik dengan negara-negara di kawasan Teluk.
Hubungan diplomatik antara Lebanon dengan Saudi dan sekutunya jarang berjalan mulus. Penyebabnya adalah Lebanon menjadi rumah bagi Partai Hizbullah yang juga mempunyai kelompok milisi.
Hizbullah dinilai sebagai ganjalan dalam hubungan diplomatik Lebanon dan Saudi beserta sekutunya karena dekat dengan Iran. Sementara Saudi dan sejumlah sekutunya bersikap bermusuhan dengan Iran.
Lebanon saat ini juga berharap bisa terus merapat ke negara-negara Teluk demi mendapat pinjaman untuk bisa lepas dari krisis ekonomi yang tengah terjadi, yang dinilai paling buruk yang menghantam negara itu sejak perang saudara antara 1975 hingga 1990.