Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menjamin bahwa revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bukan ditujukan untuk masyarakat sipil, tetapi untuk aksi terorisme dan jaringannya. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan revisi UU Terorisme itu.
Menko Polhukam juga menjamin, kekhawatiran regulasi ini akan disalahgunakan tidak akan terjadi. Menurutnya, sejumlah negara sudah menggunakan undang-undang yang sangat keras, bahkan negara tetangga Indonesia masih menggunakan internal security X, istilahnya UU Subversif di masa lalu yang sudah dihapuskan. Pada UU Subversif jika ada 5 orang kumpul, ngomong tidak jelas akan ditangkap.
“Tentu kita tidak akan seekstrim itu. Tapi paling tidak kalau sudah ada indikasi, penggunaan-penggunaan atribut yang menjurus pada radikalisme, ujaran-ujaran kebencian yang menjurus ke radikalisme, harus bisa ditangkap. Dan UU kita belum mengarah ke sana,” kata Wiranto seperti di kutip dari website resmi Kemenko Polhukam, Senin (29/5/2017).
Menurut Wiranto, aturan itu nantinya akan menjadi senjata bagi aparat yang bertugas untuk menanggulangi masalah terorisme. “Banyak kejadian aparat keamanan melakukan langkah pencegahan itu selalu dituduh pelanggar HAM. Tapi kalau sudah terjadi bom seperti yang ada di Terminal Kampung Melayu, kita dikatakan kecolongan,” ujarnya.
Seperti diketahui, revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah diajukan sejak Oktober 2016. Namun hingga saat ini masih mangkrak di tangan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI yang menanganinya. Padahal Pansus juga sudah melakukan study banding ke Inggris.
Menyikapi hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengatakan, pansus masih terus membahas bersama pemerintah, meski belum mencapai satu kesimpulan. “Saya harap ini bisa segera rampung. Tapi jangan kemudian dianggap bahwa dengan adanya undang-undang ini kemudian tidak ada terorisme,” kata Fadli.
Politisi asal Gerindra itu mengatakan, dia tidak ingin undang-undang ini nantinya dipakai sebagai alat politik kekuasaan. Seperti contohnya menangkapi orang seenaknya. “Harus ada pengawasan terhadap tindakan itu, karena sangat rawan apalagi kalau mengarah pada tindakan seperti ISA (Internal Security Act),” ungkapnya.
Menurut Fadli Zon, pencegahan terorisme sebaiknya juga lebih kepada kerja intelijen. “Intelijen kita kan bisa menelusuri jaringan. Ada agen-agen yang memang jumlahnya banyak dan dibiayai oleh negara dengan cukup besar, baik itu di BIN, di Kepolisian, di TNI dan lain-lain. Jadi mestinya ada koordinasi juga. Dan bahkan sudah ada BNPT,” pungkasnya.