Menjaga Integritas Ulama untuk Melawan Intoleransi dan Radikalisme Atas Nama Agama

Serang – Dalam agama Islam, berdakwah bukanlah tugas yang mudah, karena disamping memberikan pemahaman keagamaan kepada yang mendengar, sang pendakwah juga dituntut memiliki perilaku yang luhur agar ajakannya mudah untuk diterima. Islam sebagai agama yang moderat perlu dipahami bukan sekadar retorika dan ritual semata, namun ajarannya bermuara pada sikap humanis dan beradab.

Ketua Umum Mathla’ul Anwar periode 2021 – 2026, KH. Embay Mulya Syarief, menjelaskan bahwa kemoderatan ajaran Islam perlu diterapkan dalam keseharian umatnya, khususnya bagi para pendakwah. 

“Maraknya radikalisme dan terorisme di Indonesia tidak hanya menjadi ancaman terhadap keamanan negara, tetapi juga menggerogoti nilai-nilai luhur bangsa. Ironisnya, celah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal seringkali berasal dari perilaku dan ucapan para tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan,” terang KH Embay di Serang, Rabu (11/12/2024).

KH. Embay menyayangkan jika ada narasi bahwa “Islam yang moderat belum tentu lebih baik dari mereka yang di cap radikal.” Menurutnya, kalimat ini seringkali digunakan oleh kelompok radikal untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh agama yang mengusung moderasi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas dan konsistensi dalam berdakwah.

Selain itu, prinsip menolak kemudharatan dalam Islam menjadi pedoman penting dalam berdakwah. Tokoh agama harus senantiasa mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan dalam setiap ucapan dan tindakannya. Dengan demikian, ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan sumber perpecahan dan konflik.

“Moderasi telah menjadi identitas religius Nusantara sejak lama. Nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan hidup berdampingan secara damai telah tertanam dalam budaya masyarakat Indonesia. Tokoh agama memiliki peran penting dalam merawat dan melestarikan nilai-nilai luhur tersebut,” ujar KH. Embay.

Menurutnya, otentisitas dan otoritas ulama juga menjadi sorotan dalam konteks melawan radikalisme. Di era digital, informasi dapat dengan mudah tersebar, termasuk informasi yang tidak akurat atau bahkan menyesatkan. Ulama sebagai rujukan keagamaan memiliki tanggung jawab untuk menyaring informasi dan memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat.

KH. Embay pun berpendapat bahwa tokoh agama tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pilar keutuhan bangsa. Dengan menjaga nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila, tokoh agama dapat menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

Ia mengatakan, moderasi beragama dalam menjalankan syariat Islam merupakan wujud nyata pengamalan Pancasila. Dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan Indonesia, moderasi beragama dapat menjadi benteng pertahanan terhadap paham-paham radikal yang mengancam keutuhan bangsa.

“Supaya Islam itu bukan hanya mengajar retorika atau pun slogan semata, namun kebaikannya harus bisa dilihat dari baiknya akhlak pemeluknya. Islam adalah agama yang moderat, dan hal itu harus bisa tercermin dari perbuatan yang toleran dan menghargai sesama manusia, terlepas apapun posisi dan status sosialnya. Umat Islam harus ingat bahwa pada dasarnya semua manusia di muka bumi ini adalah saudara seketurunan dari Nabi Adam,” terangnya.

KH. Embay juga berharap agar para umat beragama untuk memahami ajaran agama dengan benar dan lengkap. Belajar agama tidak bisa sekadar emosional atau bahkan lucu-lucuan, namun minim substansi yang justru akan menjadi pedoman umat beragama tentang mana yang boleh dan yang tidak. Akibatnya, banyak umat beragama yang salah dalam mengambil teladan karena figur yang dicontohnya tidak menerapkan adab dan perilaku yang baik.

Kegagalan dalam berkata dan berbuat yang baik terhadap sesama manusia, menurut KH. Embay, sebenarnya akan berdampak buruk, tidak hanya bagi para pelakunya, namun juga orang-orang disekitarnya. Suka atau tidak, perbuatan tercela yang dilakukan seorang dai, selain menjatuhkan kehormatan dari sosok dai tersebut, juga akan menurunkan legitimasi dari kebaikan yang dibawa olehnya.

“Dalam ajaran Islam, baik dan buruknya perkataan pun diatur. Allah berfirman di dalam Al-Quran, di surat Al-Baqarah, ‘wa kullu linnasi husna,’ artinya ‘katakan kepada manusia perkataan terbaik,’ baru setelah itu, ‘wa ‘aqimussholata wa atuzzakat,’ dirikan salat dan tunaikan zakat. Dari firman Allah ini, kita bisa menyimpulkan bahwa perilaku yang baik mendapatkan prioritas yang bahkan melebihi kewajiban ibadah salat dan zakat,” ungkap KH. Embay.

KH. Embay pun berpesan agar umat Islam, khususnya para dai, bisa menjaga perkataan dan perbuatannya agar tidak menyakiti sesama manusia. Ajaran agama selayaknya tidak hanya terwujud sebagai aspek ritualitas, namun juga mampu tergambar dalam tingkah laku terhadap sesama ciptaan Tuhan.

“Agama harus dipahami secara lengkap, karena ia tidak hanya bicara masalah ritual saja, tapi juga aspek kemanusiaan. Semua kebaikan yang diperbuat oleh seseorang akan kembali untuk dirinya, begitu pun dengan keburukan. Jika seseorang tidak mampu menjaga budi pekertinya, bahkan seorang ulama kondang pun bisa menjadi hina di mata manusia lainnya,” pungkas KH. Embay.