Jakarta – Berpikir kritis dan analitis menjadi suatu kebutuhan tersendiri bagi generasi muda Indonesia di tengah derasnya arus informasi yang saat ini membanjiri. Penggunaan media sosial (medsos) yang tidak tepat terbukti mampu melayangkan nyawa manusia.
Orang tua pada khususnya harus membenahi cara pandang dalam menilai keberadaan medsos yang kini telah menjadi alat baru bagi kekuatan jahat untuk melakukan doktrinasi ataupun radikalisasi khususnya kepada anak.
Hal serupa juga dikatakan oleh Psikolog Anak dan Keluarga, Maharani Ardi Putri, M.Si., Psi. Dirinya menyebut, infiltrasi paham brutalisme dan radikalisme kepada anak tidak bisa sepenuhnya menyalahkan keberadaan medsos dengan segala keterbukaan dan aliran informasinya. Namun dirinya menilai, peran orang tua menjadi sangat vital dalam menjaga agar anak mampu memiliki sikap kritis dan cerdas dalam penggunaan media digital.
“Kalau kita menyalahkan medsos itu sulit, pertumbuhan media sosial sendiri juga tidak bisa kita hentikan. Karena itu sebetulnya yang harusnya mengakselerasi adalah kita sendiri sebagai orang tua,” ujar Maharani Ardi Putri di Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Psikolog yang akrab disapa Putri Langka ini melanjutkan, dalam hal ini penting bagi orang tua untuk mengakselerasi pengetahuannya serta perlu memahami strategi penggunaan medsos, guna menjaga dan mengawasi anak-anak dari penyalahgunaan informasi di dunia maya yang nyatanya mampu membentuk karakter mengerikan anak yang impulsive, brutal serta radikal.
“Prinsipnya begini, kita tidak bisa mencegah informasi yang masuk, tapi kita bisa memberikan bekal pada anak-anak kita untuk bersikap lebih kritis dan bertanggung jawab. Dan kita harus jadi orang tua yang menyediakan tempat pulang buat anak-anak. Jadi jangan sampai anak-anak itu takut untuk cerita dengan orang tuanya apapun resikonya,” ujarnya.
Tidak hanya melatih anak-anak dengan sikap kritis dan tanggungjawab. Putri menambahkan, pendidikan moral, agama, dan kemampuan anak untuk mempertahankan prinsip serta keberaniannya juga perlu ditanamkan secara konkrit oleh orang tua sebagai lingkungan terdekat anak.
“Orang tua pun harus belajar banyak agar anak juga terbuka (pikirannya). Dan orang tua juga harus aware kalau banyak orang yang mau ‘nangkep’ anak-anak kita. Maksudnya selalu ada kelompok atau wadah yang memang menunggu anak-anak ini untuk datang ke mereka dan menerima mereka (anak-anak),” tutur perempuan yang aktif sebagai dosen di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila ini.
Pasalnya, Putri menjelaskan banyak faktor yang mempengaruhi masuknya ideologi kekerasan pada anak, salah satunya kemiskinan dan pengaruh tumbuh kembang remaja yang belum matang baik secara kognitif maupun mental. Sehingga, kemampuan anak dalam mempertimbangkan resiko, dinilai menjadi tidak holistik dan cenderung bertindak impulsive.
“Pertimbangan-pertimbangan mereka terhadap resiko, terhadap konsekuensi, itu menjadi tidak lengkap. Jadinya mereka kadang-kadang seperti mengabaikan resiko-resiko yang bisa terjadi. Ditambah lagi pendidikan moral, pengatahuan aturan hukum, pengetahuan mereka tentang benar salah juga sangat minim, dan segala macamnya kan juga factor penyumbang. Bahwa mereka ga bisa berhitung resiko-resiko itu,” jelasnya.
Hal-hal diatas menurutnya juga tidak semata-mata menjadi tanggungjawab lingkungan sekitar dan keluarga khususnya orang tua. Lebih jauh lagi, Putri menilai bahwa dalam hal ini juga harus objektif melihat bagaimana upaya sistem pemerintahan yang ada dalam rangka melindungi anak-anak bangsa.
“Tentu bukan hanya orang tua yang bertanggung jawab disitu, kita perlu lagi melihat sistem pemerintahan kita dalam melindungi anak-anak kita. Bagaimana sistem yang ada terkait penyaringan informasi serta situs illegal. Yang kita hadapi ini kan sesuatu yang sangat global, dan tidak bisa dilawan perorangan, harus dengan kebijakan dan Kerjasama semua pihak,” tutur wanita yang juga menjabat sebagai Kepala Biro Humas dan Ventura Universitas Pancasila ini.
.
Putri juga mengatakan kalua masyarakat juga tidak bisa selamanya menyalahkan medsos karena memberikan informasi yang tidak mendidik. Tetapi bagaimana semua pihak bisa bekerjasama membahas persoalan dunia digital dengan serius, mengedukasi anak bangsa guna membuahkan perubahan yang besar.
“Kita tidak bisa hanya komplain, tapi kita juga harus melakukan sesuatu, dan melakukan sesuatu itu harus bersama-sama. Misalkan saya berdiri sendiri, ga akan membuahkan hasil yang besar,” ujar peraih Pasca Sarjana dari Universitas Indonesia ini mengakhiri.