Jakarta – Bangsa Indonesia belakangan ini masih dirundung berbagai masalah tentang paham radikalisme, bahkan tindakan aksi terorisme pun juga merebak di banyak daerah, tidak semata di Pulau Jawa. Teror bom yang terjadi selama ini tentunya adalah tindakan keji yang membajak kesucian agama sebagai pembenar atas tindak sesat yang dilakukan. Aksi terorisme adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang menebar ketakutan dan menggerogoti rasa aman masyarakat.
Radikal dan radikalisme ini merupakan dua istilah yang akhir-akhir ini sering kali dikaikan dengan aksi-aksi kekerasan yang dikonotasikan dengan kekerasan berbasis agama termasuk aksi terorisme. Kelompok Radikal ini merupakan kelompok yang memiliki paham atau aliran tertentu yang berusaha melakukan perubahan dan pembaharuan dengan menempuh cara-cara kekerasan eksrem ekstrem. Cara-cara kekerasan itu antara lain menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya, termasuk melakukan tindakan pengeboman atau aksi terorisme.
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk meredam paham radikalisme dan aksi terorisme, namun kelompok-kelompok yang menyebarkan paham radikalisme dan terorisme hingga saat ini masih terus ada, sehingga keberadaanya harus terus diwaspadai oleh semua pihak
Jika berbicara terorisme, secara definisi hukum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 pasal 1 ayat 2, itu didefinisikan sebagai, Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
“Jadi terorisme ini motifnya ada tiga yaitu ideologi politik atau gangguan keamanan. Semua terorisme pasti berpaham radikal atau radikalisme,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Dir Cegah BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, dalam acara Dialog Interaktif dengan Pro3 FM Radio Republik Indonesia (RRI), Jumat (23/7/2021) bertema “Kelompok Paham Radikal Terorisme”.
Sementara definisi radikalisme sendiri sebagaimana di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menurutnya adalah paham atau ideologi yang menginginkan perubahan tatanan politik dan sosial secara radikal atau mengakar, mendasar dengan cara-cara ekstrem atau kekerasan.
“Jadi semua teroris itu dijiwai oleh paham radikalisme, meskipun tidak semua orang yang terpapar paham radikalisme otomatis menjadi teroris. Teroris itu merupakan hilirnya yang merupakan tindakan atau perbuatan ataupun aksinya.Sementara radikalisme adalah paham yang menjiwainya,” ujarnya.
Lebih lanjut dirinya mencontohkan bahwa yang masuk dalam kelompok teroris tentu saja ada yang namanya Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Kemudian kelompok lain ada Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang turunannya ada yang namanya Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Anshorut Khilafah (JAK), Jamaah Anshorut Syariah (JAS), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB) dan sebagainya. Dimana kelompok ini berafiliasi kepada jaringan terorisme internasional yaitu ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah)
“Dan MIT, MIB, JAD, JAK, JAS ini yang mensupport ataupun mengirimkan Foreign Terrorist Fighters (FTF) yang bergabung dengan ISIS atau kombatan kombatan yang bergabung dengan ISIS yang membentuk namanya Katibah Nusantara di Irak dan Suriah sana. Nah tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain Bahrumsyah, Bahrun Naim, Abu Jandal dan sebagainya. Ini semua kelompok teroris nya kelompok jaringan radikal terorisme,” katanya.
Lebih lanjut alumni Akpol tahun 1989 ini menjelaslan bahwa untuk jaringan radikalisme sebelum menjadi teroris yaitu semua kelompok yang menginginkan perubahan tatanan sosial dan politik dalam hal ini menginginkan digantinya ideologi Pancasila dan sistem negara Republik Indonesia dengan ideologi transnasional.
“Tentunya mereka ini ingin mengganti ideologi bangsa kita dengan ideologi Khilafah ataupun sistem agama atau Daulah Islamiyah menurut versi kelompok tersebut,” ujar perwira tinggi kelahiran Magelang ini menjelaskan .
Namun menurutnnya ada dua kelompok yang terkait dengan jaringan kelompok terorisme ini. Yang pertama terkait secara ideologis dan organisatoris. Dimana mereka ini yang menjadi anggota jaringan teroris tersebut, misalnya dengan jaringan ISIS atau JAD kalau di Indonesia. Lalu yang kedua adalah yang tidak terkait secara organisatoris, tetapi terkait secara ideologis.
“Secara paham radikalnya dia terkoneksi dan mengikuti paham takfiri atau paham radikal, tetapi dia tidak tergabung di dalam jaringan organisasi teroris tersebit. Nah ini yang menimbulkan modus baru yang disebut berupa Lone Wolf , seperti yang menyerang di Mabes Polri beberapa waktu lalu,” ujarnya
Ketika ditanya oleh penyiar RRI tersebut jika ada seorang pendidik ataupun orang yang ahli dalam suatu ilmu misalnya seperti profesor, kemudian dia terpapar jaringan terorisme atau paham terorisme, itu lalu orang tersebut masuk dalam kelompok mana, Dir Cegah BNPT pun menjelaskan bahwa jika orang tersebut sudah masuk atau terpapar paham radikal, tetapi dia belum masuk dalam jaringan teror, maka dia belum bisa dikategorikan sebagai teroris.
Namun lain halnya jika orang tersebut sudah melakukan kegiatan seperti sumpah baiat, melakukan Liqo atapun pengajian-pengajian eksklusif, khusus atau pengajian kecil, lalu juga sudah melakukan i’dad atau latihan-latihan perang dengan mempersiapkan senjata-senjata seperti panah, bom dan latihan perang lainnya.
“Menurut pertimbangan dari intelijen atau penyidik bahwa mereka berpotensi kuat akan melakukan aksi teror, dan perbuatannya sudah masuk atau memenuhi unsur tindakan pidana teror, maka dia bisa dikategorikan sebagai teroris. Sebelum dia melakukan aksi teror mereka sudah bisa dilakukan tindakan yang namanya preventive strike, yaitu ditindak ditangkap untuk mencegah,” ujar mantan Kabagbanops Detasemen Khusus (Densus)88/Anti Teror Polri ini.
Dan sampai sekarang ini menurutnya, semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang terorisme, aparat keamanan sendiri sudah mencegah atau berhasil menangkap sebanyak lebih dari 1.200 orang yang baik individu maupun dari jaringan kelompok yang akan melakukan aksi teror.
“Dan sebanyak 1.200 orang itu sekarang sedang masih dalam proses penyidikan, maupun ada yang sudah menjadi tersangka, terdakwa, terpidana dan juga narapidana” ujarnya .
Pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Komandan Resimen Taruna (Wadanmentar) Akpol ini pun mengatakan bahwa dari berbagai golongan kelompok terorisme tersebut, yang paling berbahaya adalah mereka yang tidak tergabung dengan jaringan teror secara organisatoris. Tetapi dia tergabung secara ideologis.
“Ini yang memunculkan adanya Lone Wolf. Dan di beberapa lembaga survei beberapa tahun yang lalu, mengindikasikan ada sekitar 4 % masyarakat Indonesia yang jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia maka ada sekitar 10 juta orang yang siap berjihad untuk Khilafah,” ucapnya.
Dir Cegah BNPT mengatakan bahwa hal itu berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) beberapa tahun lalu yang mengindikasikan seperti itu sekitar 4% atau 10 juta orang dimana kelompok atau masyarakat Indonesia itu pro terhadap Khilafah dan siap berjihad untuk Khilafah. “Tentunya hal itu mengindikasikan mereka sudah terpapar paham radikal,” katanya.
Dan yang perlu diketahui menurutya adalah semua jaringan teroris baik itu tergabung dalam kelompok radikal atau Lone Wolf ini memiki tujuan yang sama, yakni mereka ingin menegakkan Syariah atau mendirikan Negara Khilafah, mendirikan Negara Daulah di Indonesia.
“Tentunya itu yang berbahaya. Baik itu jaringan teror secara organisatoris maupun tidak terkait jaringan, tapi secara ideologis, mereka punya tujuan yang sama yaitu mendirikan Negara Khilafah atua Daulah di Indonesia. Ini yang tentunya perlu kita waspadai bersama,” kata mantan Kapolres Gianyar ini.
Dirinya membantah ketika ditanya penyiar mengenai kelompok-kelompok tersebut baik yang organisasi maupun yang lone wolf ini bisa menjadi ‘bom waktu’. Namun untuk mengatasinya menurutnya perlu keterlibatan seluruh komponen bangsa dalam mengantisipasi adanya penyebaran paham radikal tersebut termasuk mengamati lingkungan disekitarmya
“Bukan menjadi bom waktu, tetapi hal ini tentunya menjadikan kerja keras kita bersama dan kepedulian partisipasi masyarakat dari secara aktif dan produktif secara keseluruhan untuk mengamati lingkungan sekitarnya dalam mengatasi dan melakukan deteksi dini terhadap hal tersebut,” ujarnya.
Terkait darimana orang-orang sebanyak 4% tersebut bisa terpapar paham radikal terrorisme, lebih lanjut Brigjen Nurwakhid menjelaskan bahwa pasca reformasi, Undang-undang Anti Subversif dicabut, sehingga negara ini belum memiliki regulasi yang melarang semua ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dimana ideologi yang dilarang saat ini adalah ideologi komunisme, marxisme dan leninisme. Di mana larangannya ada pada TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 yang turunannya pada Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999. Dimana dilarang menyebarluaskan dan beraktivitas terkait dengan menyebarkan komunisme, marxisme dan leninisme.
“Sementara ideologi yang relevan saat ini yang mengancam eksistensi dan integrasi bangsa Indonesia yang bertentangan dengan konsensus nasional yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), seperti Khilafahisme, daulahisme, liberalisme, kapitalisme itu belum ada larangannya,” ucap nya.
Kemudian dirinya mencontohkan seperti organisasi Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan oleh pemerintah. Organisasi tersebut dibubarkan dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), sehingga dibubarkan secara organisatorisnya saja.
“Sementara ideologinya tidak dilarang. Sehingga mereka kelompok-kelompok radikal ini misalnya Hizbut Tahrir dan kelompok-kelompok radikal lainnya maupun kelompok kelompok terorisme ini selalu menggelorakan tentang Khilafah. Dan mereka ini anti terhadap Pancasila,” katanya
Dan yang perlu diketahui pula oleh seluruh masyarakat menurutnya bahwa kelompok-kelompok radikal terorisme selalu memanfaatkan situasi seperti pandemi Covid 19 ini. Dimana kecenderungannya mereka ini ingin membangun distrust di masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahan yang sah.
Karena memang tujuannya mereka sejatinya adalah gerakan politik yang ingin mengambil kekuasaan dengan memanipulasi agama maupun memanipulasi situasi dan ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan ideologi khilafah atau ideologi transnasional. Dan mereka juga ingin mengganti sistem negara dengan Daulah atau sistem agama menurut versi mereka,” kata mantan Kapolres Jembrana ini.
Sehingga kecenderungannya menurutnya, kelompok-kelompok tersebut ingin membuat keos, gaduh, konflik, kekacauan dan sebagainya. Karena hal itu yang akan membantu atau mengakselerasi kelompok tersebut untuk mencapai agendanya. “Tentunya hal ini yang harus diwaspadai,” ucapnya.
Selain itu yang perlu diwaspadai lagi menurutnya yaitu mereka itu menghalalkan segala cara atas nama agama. Hal ini karena mereka itu memiliki ideologi takfiri yang suka mengkafirkan tidak hanya kepada yang berbeda agama saja, tetapi juga yang berbeda kelompok atau pahamnya.
“Itulah yang kemudian dikafirkan oleh mereka sehingga mereka kecenderungannya intoleran, eksklusif dan menghalalkan segala cara atas nama agama dengan menyebar hoax, konten-konten hate speech, konten-konten provokatif, adu domba, propaganda dan lain sebagainya yang tujuannya ingin membuat keos atau memantik konflik,” ujarnya.
Terkait pertanyaan pendengar dari Samarinda, Kalimantan Timur yang menanyakan bahwa aksi terorisme dan paham radikalisme ini yang selalu mengatasnamakan Islam, Brigjen Ahmad Nurwakhid pun menjawab bahwa yang harus digaris bawahi dan harus diektahui oleh masyarakat bahwa semua tindakan terorisme tidak terkait dengan agama apapun.
Tetapi hal tersebut terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang menyimpang dari oknum umat beragama yang bersangkutan. Dan ini biasanya didominasi oleh umat beragama yang menjadi mayoritas di suatu wilayah atau di suatu negara.
“Jadi paham radikalisme dan terorisme ini tidak ada kaitanya dengan agama apapun. Dan ini berpotensi ada pada setiap individu manusia, melihat suku agama ras, tidak melihat profesi, tidak melihat kadar intelektualitas seseorang. Ini semua adalah virus ideologi radikal yang bisa memaparkan kepada siapa saja,” ujar
Demikian juga saat menjawab pertanyaan pendengar dari Serui, Papua yang menanyakan dari mana para jaringan teroris me ini mendapatkan pendanaan, Dir Cegah BNPT pun mengatakan bahwa pembiayaan terorisme ini ada berbagai cara yang mereka lakukan. Yang pertama mereka ini dibiayai dari iuran, atau infaq dan sedekah di antara mereka.
“Karena juga mereka ini tidak semuanya miskin, karena tidak sedikit juga di antara mereka ada yang mampu dan kaya;” ujar mantan Kapolsekta Banjarsari, Solo ini
.
Lalu yang kedua menurutnya, pendanaan teroris ini juga bisa didapatkan dari kotak kotak amal seperti yang berhasil disita oleh aparat Kepolisian baik di Lampung, Jawa Timur dan berbagai tempat lainnya. “Jadi kotak kotak amal atau sedekah itu mereka yang mengkoordinir dan itu digunakan sebagai pembiayaan teror,” ujarnya
Kemudian yang ketiga menurutnya, pendanaan teroris ini juga didapat dari yang mereka istilahkan sebagai ghanimah atau fa’i. Dimana mereka ini memiliki karakter menghalalkan segala cara dengan mengatasnamakan agama, sehingga mereka menipu, merampok, mencuri dan juga korupsi.
“Yang mana hal itu menurut mereka dianggap sah, karena menurut dia hal ini dipakai untuk perjuangan agama dan menegakkan Syariah sehingga ini juga disebut sebagai harta rampasan perang. Tentu saja hal ini sangat menyimpang dari ajaran agama itu sendiri,” ucap mantan Kadensus 88/Anti Teror Polda DIY ini.
Sementara yang keempat, kelompok-kelompok terorise ini bisa juga dibiayai oleh kepentingan, bisa kepentingan dari mafia bisnis maupun oknum-oknum yang sering memanfaatkan untuk kepentingan politik. “Selain itu mereka juga mendapatkan dana dari donasi asing melalui NGO, LSM, Yayasan Yayasan yang tergabung atau terafiliasi dengan kelompok mereka,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya, sebagai antisipasi agar mayarakat Indonesia utmanaya generasi muda agar tidak mudah terpapar paham radikal terorisme, selama ini BNPT tekah menerapkan dua strategi pendekatan, yaitu pendekatan lunak (soft approach) dan pendekatan keras (hard approach). Pendekatan keras ini adalah pendekatan dengan law enforcement atau penegakan hukum yang dilakukan oleh Densus 88 yang koordinasi dengan BNPT.
“Ini dilakukan terhadap mereka yang sudah terpapar dalam kadar tinggi dan memenuhi unsur tindak pidana teror, maka dilakukan pendekatan penegakan hukum,” ujarnya.
Kemudian stategi pendekatan soft approach ini menurutnya yaitu Pencegahan. Dimana konteks Pencegahan di sini ada tiga. Pertama adalah Kesiapsiagaan Nasional. Dimana Kesiapsiagaan Nasional disini tidak hanya sekadar kesiapsiagaan fisik atau kesiapsiagaan pasukan, sistem manajemen, anggaran dan sebagainya.
“Tetapi juga lebih kepada kesiapsiagaan ideologi yaitu dilakukan dengan yang namanya vaksinasi ideologi terhadap mereka yang belum terpapar, yaitu mayoritas masyarakat sekitar 87,8 persen yang belum terpapar. Dimana 87,8% ini mereka adalah masyarakat moderat, hatinya baik, orang orangnya baik tetapi tetap juga berpotensi untuk terpapar paham radikal terorisme itu,” ujar mantan Kapolsekta Salatiga Utara ini.
Untuk itu agar masyarakat ini memiliki imunitas terhadap ideologi radikal maka perlu diberikan vaksinasi ideologi baik itu melalui character building, kemudian penanaman nilai-nilai wawasan kebangsaan, nasionalisme, akhlak, budi pekerti dengan pendekatan agama.
“Kenapa dengan pendekatan agama? Supaya menghilangkan potensi dikotomi yang sering dilakukan oleh kelompok radikal. Karena kelompok radikal ini sering membentur-benturkan dengan mengadu domba, mendikotomi antara agama dan negara, antara agama dan budaya, agama dan nasionalisme,” ujar Perwira Tinggi yang saat masih Perwira pertama menjadi Komandan Peleton Candradimuka Akabri ini
Pencegahan yang kedua yaitu dilakukan dengan yang namanya Kontra Radikalisasi. Seperti diekatahui bahwa konten-konten intoleran dan radikal yang mendominasi Dunia Maya ada sekitar 67%. Maka dari itu perlu dilakukan Kontra Radikalisasi yang isinya adalah kontra ideologi kontra narasi dan kontra propaganda. “Tujuannya adalah untuk meng-counter narasi narasi intoleran, radikal dan sebagainya,” ucapnya.
Sedangkan upaya Pencegahan yang ketiga yaitu dilakukan Deradikalisasi. Dimana Deradikalisasi ini diperuntukan untuk mereka yang sudah terpapar kadar tinggi, baik mereka yang telah menjadi tersangka terdakwa terpidana maupun narapidana terorisme dan mantan narapidana terorisme beserta keluarganya.
“Karena deradikalisasi ini didefinisikan sebagai upaya atau proses untuk mengembalikan seseorang yang sudah terpapar paham radikal untuk kembali menjadi moderat, atau minimal untuk mengurangi kadar keterpaparannya” ujar pria yang mengawali karir Kepolisiannya di Polwiltabes Surabaya ini.
Dan di dalam Deradikalisasi ini ada tiga program yang dijalankan yaitu pertama, rehabilitasi ideologi, kedua, reedukasi dengan diberikan keterampilan, pendidikan, pelatihan dan sebagainya. Dan yang ketiga adalah program reintegrasi sosial.
“Ini supaya nantinya kalau narapidana ini sudah bebas dari tahanan atau dari Lapas, mereka bisa kembali ke masyarakat, diterima oleh rakya, dan bisa beradaptasi secara sosial di masyarakat,” ujarnya mengakhiri.