Jakarta – Kementerian Agama (Kemenag) RI akan menggelar perayaan Natal bersama tahun ini. Natal bersama ini perdana digelar Kemenag sejak Indonesia merdeka.
Hal ini disampaikan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar saat menghadiri acara Natal Tiberias 2025 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Sabtu lalu.
Menag mengatakan perayaan Natal bersama oleh Kemenag RI ini menekankan bahwa tidak boleh ada sekat di antara sesama anak bangsa. Dia menilai keberagaman yang menjadikan Indonesia sebagai lukisan Tuhan yang indah tidak boleh dirusak dengan ketidakharmonisan.
Menanggapi rencan itu, Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum., menghormati langkah Kemenag RI menggelar rangkaian perayaan Natal 2025 yang diberi tajuk C LIGHT: Christmas – Love in God, Harmony Together. Hal ini diusung untuk memperkuat toleransi, persaudaraan, dan kebersamaan di tengah keberagaman Indonesia.
Menurut Syarif, sebagai Muslim, penting untuk menyadari bahwa bangsa Indonesia hidup di lingkungan yang plural, beragam. Sehingga, harus menghormati satu sama lain dan menjaga toleransi antar umar beragama untuk membangun hidup yang harmonis.
“Menghormati orang lain, menghormati kepercayaan orang lain dan lain sebagainya, itu kepentingannya adalah agar kehidupan ini bisa berjalan dengan harmoni,” ucap Moch. Syarif Hidayatullah saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/12/2025).
Tentu sebagai otoritas negara, lanjutnya, Kementerian Agama RI harus mengayomi dan merangkul semua agama yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu menganggap ini suatu hal yang berlebihan. Apalagi sampai mengadu domba dan membuat perpecahan antar sesama.
Syarif mencontohkan, bagaimana Nabi Muhammad dan para sahabatnya menghormati keyakinan orang lain saat memasuki Madinah. Kala itu Madinah terdiri dari berbagai suku maupun kabilah, bukan seperti Madinah saat ini yang sudah homogen. Namun, dengan kearifan dan kepemimpinan yang luhur, Nabi mampu menjaga persatuan antar suku dan golongan di Madinah.
“Melalui Piagam Madinah, misalnya, Nabi memperlakukan orang-orang dengan kepercayaan yang berbeda itu diberikan ruang untuk ekspresi dalam keberagamaan mereka,” kata Syarif.
Apalagi, Syarif menambahkan, kalau persoalannya hanya terkait dengan muamalah (interaksi sosial), sebagai warga negara Indonesia penting untuk saling menghargai demi membangun kehidupan yang damai. Banyak dalam riwayat, kisah Nabi dan para sahabat yang bermuamalah dengan non-muslim.
“Kalau yang sifatnya muamalah, kita malah sebagai Muslim tidak dilarang untuk berbuat baik kepada orang yang agamanya berbeda, keyakinan dan kepercayaannya berbeda,” tegas Syarif.
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya ini menyakini dengan menghormati keyakinan orang lain, berinteraksi dengan non muslim tidak serta-merta meruntuhkan akidah seorang muslim.
Menurut Syarif, konsep toleransi adalah menghormati sesuatu yang berbeda. Seseorang tidak punya hak untuk tidak menghormati, tidak menghargai apa yang menjadi keyakinan, kepercayaan, dan ibadah orang lain. Batasan dalam toleransi, Syarif melanjutkan, kita tidak mengamalkan, mempercayai apa yang menjadi keyakinan, kepercayaan, dan menjadi bagian dari ibadah orang lain.
“Yang tidak boleh adalah kita mengikuti, menjalankan ritual, kepercayaan, dan akidah orang lain. Itu batas yang memang tidak bisa dilanggar dalam konteks akidah,” terang Syarif.
Syarif menepis anggapan negatif bahwa Islam tidak toleran, dan tidak ramah kepada pemeluk agama lain. Sejatinya, Islam yang diajarkan Nabi Muhammad adalah hikmah penuh kasih sayang dan rahmat bagi semesta alam.
Oleh karena itu, Syarif menegaskan pentingnya moderasi beragama. Menurutnya, kelompok ekstrem ini kerap memaknai agama secara kaku dan tekstualis. Misalnya hanya melihat hitam dan putih, surga atau neraka. Maka penting untuk memahami ayat, memahami hadis dengan sudut pandang penjelasan yang beragam dari para ulama
“Mereka ini seringkali tekstualis,” ungkap sosok yang kerap melakukan deradikalisasi kepada para narapidana terorisme ini. “Di balik teks itu, beyond the text itu kadang diabaikan atau terabaikan. Ayatnya bunyinya A misalkan, tapi pemahaman para ulama terhadap ayat itu juga beragam, tidak tunggal,” tambah Syarif.
Untuk itu, Syarif menambahkan, perlu adanya pengembangan kurikulum moderasi beragama di institusi pendidikan. Sehingga, pelajaran agama tidak lagi berfokus pada hafalan, tapi kepemahaman.
“Bagaimana ayat tertentu itu dipahami oleh para ulama, dan bagaimana apa, kita nih dalam mengamalkan, menerapkan dalam situasi yang beragam seperti saat ini,” tandasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!