Sel itu Sedang Tidur dan Hibernasi
Masih hangat dalam ingatan kita betapa tahun 2017 dan 2018 telah terjadi berbagai serangan teror yang sangat masif baik di tataran domestik, regional maupun global. Berbagai serangan dari berbagai organisasi ganas teroris telah mampu menciptakan ketakutan yang luar biasa di tengah kehidupan sosial masyarakat regional dan global. Hampir setiap hari tiada media yang tidak memuat berita dan gambar tragis penuh darah tentang kekejaman dan sadisme para teroris.
Serangan di Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia telah mendorong badan dan organisasi dunia yang memiliki fokus dan konsen terhadap penanganan terorisme harus bekerja lebih keras demi menciptakan dan menginisiasi penghalangan dan pencegahan terorisme secara global. Berbagai “Action plans” dan kerjasama tingkat duniapun digelar. Semua negara tidak mau menjadi korban serta iku ambil dan peduli dalam menanggulangi terorisme. Begitupun dengan Indonesia.
Didasari pada pemikiran dan kebutuhan keamanan nasional serta melihat betapa pimpinan negeri ini menyadari bahwa situasi yang terjadi di Iraq, Syria, Afganistan, dan Maghribi juga bisa berdampak pada radikalisme terorisme di Indonesia, disusunlah perangakat dan sistem kerjasama regional dan bilateral. Berbagai fenomena tentang returnees, deportan serta hancurnya Jejaring sel Daesh atau ISIS, sekalipun situasi dan intensintas telah menurun, tetap saja dianggap sebagai sebuah pekerjaan besar dan persoalan serius pada masa mendatang. Jejaring teroris yang selama ini dianggap tidur, faktanya sering menggeliat dan memberikan kejutan dan ketakutan dadakan baru bagi masyarakat dunia. Perlu kita Ingat bahwa sel itu tidak mati, tetapi sedang hibernasi.
Inggris Britania Bergeliat pasca Serangan Bertubi-tubi
Beberapa serangan yang terjadi di jantung kota London pada tahun 2017 menjadi pukulan telak yang baru bagi negara monarkhi tersebut khususnya pada pasca serangkaian aksi teror Irlandia utara IRA pada era tahun 80- 90an. Beberapa tahun kemudian serangan kembali dilakuan kelompok teroris terhadap kereta api bawah tanah pada tanggal 7 Juli 2005. Setelah itu cukup lama masyarakat Inggris merasa sepi dari berita terorisme.
Barulah pada tahun terakhir ini masyaralat London, Inggris kembali dibuat terhenyak saat pada tanggal 22 Maret 2017 di jantung kota London teroris kembali menyerang seorang polisi dan dua warga penduduk sipil tak berdosa. Korban lain adalah para pejalan kaki yang sedang berjalan kaki melintasi Jembatan kota itu. Setelah menyerang warga, pelaku kemudian berlari ke depan gedung Parlemen, sambil membawa pisau. Disanalah dia menyerang seorang polisi yang sedang berjaga di lokasi itu.
Akibat serangan itu sebanyak 40 orang luka luka. Kasus inilah yang disebut “webminster tragedy“. Pelakunya adalah pria kelahiran Inggris yang diidentifikasi sebagai anggota jaringan sel terorisme ganas ISIS. Korban acak berasal dari 11 negara dan 12 Warga negara Inggris sendiri. Korban terdiri dari tiga anak-anak asal Prancis, dua warga Rumania, empat warga Korea Selatan, satu warga Jerman, satu warga Polandia, satu warga Irlandia, satu warga China, satu warga Italia, satu warga Amerika dan dua warga Yunani.
Selain teror Westminster teroris seakan tidak pernah mau berhenti. Aksi terjadi lagi di Manchester pada hari Senin tanggal 22 mei 2017 malam. Sebuah aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pemuda Inggris keturunan Libya, Salman Abedi. Dia masih muda sekali, baru berumur 22 tahun. Ledakan besar terjadi persis di lokasi Konser Ariana Grande, Arena Manchester . Akibatnya 22 orang tewas seketika. Aksi terjadi di pintu keluar Manchester Arena persis sesaat konser berakhir. Di samping 22 yang tewas ada pula 59 orang luka-luka.
Tidak hanya 2 kasus anyar tersebut. Pada Sabtu tanggal 3 Juni 2017 malam terjadi lagi dua serangan berturut-turut. Pertama, di London Bridge dan yang kedua di Borough Market. Sebenarnya terjadi juga peristiwa di Vauxhall, London Selatan, hanya saja di lokasi ini entah dengan alasan apa, polisi Inggris tidak menyebutnya sebagai aksi teror. Tidak terbatas pada rangkaian kejadian itu saja. Serangan juga terjadi di Borough Market yang berada di selatan Sungai Thames. Tiga orang berlari ke pasar dan menusuk dengan membabi-buta di tengah kerumunan orang yang sedang persiapan berbelanja.
Beberapa catatan yang tercecer betapa penderitaan Inggris karena ulah teror:
1). Pembunuhan Tentara Inggris. Tentu rakyat Inggris tidak akan pernah lupa akan kasus ini. Seorang tentara Inggris bernama Lee Rigby yang baru berumur 25 tahun dibunuh oleh dua pemuda keturunan Nigeria di depan baraknya di kota London. Pelaku merekam aksinya. Kejadian pada tanggal 22 Mei 2013 mencoreng citra militer Inggris
2). Serangan Bandara Glasgow . Pada tahun 2007 Dua pria membawa kendaraan yang terbakar menabrak terminal utama Bandara Glasgow, Skotlandia. Pelaku bernama Bilal Abdulla, 29 tahun, ditangkap dan dijatuhi hukuman 32 tahun.
3). Peledakan pesawat PanAm yang menewaskan 270 orang pada tahun 1988.
Mempersiapkan Wadah Baru Penanganan Terorisme
Memang senyatanya dan faktual bahwa terorisme sudah merupakan ancaman nyata yang bisa memporak-porandakan sistem pemerintahan, system keamanan domestik, regional dan internasional. Indonesiapun sejak merdeka telah mengalami berbagai serangan dan beberapa kali pula telah melakukan perubahan regulasi dan pendekatan kesisteman dalam penanganan terorisme. Pendekatan militer, intelijen, dan pendekatan dengan mengedepan hukum pun telah di jalankan. Tetapi, tetap saja dari era ke era regulasi yang mendukung sistem penanganan terorisme tersebut selalu ada celah kekurangan.
Tahun 1963 setelah percobaan pembunuhan Presiden Soekarno di Stadion Matoangin dan Masjid Baitulrahim Istana, lahirlah undang ungang anti subversif, PNPS Nomor 11 tahun 1963. Setelah reformasi pun lahir Perpu Nomor 1 dan Nomor 2 tahun 2002 untuk meresepon kejadian bom Bali. Pada perkembangannya lahir UU Nomor 15 tahun 2003 dan sekarang disempurnakan dengan lahirnya UU Nomor 5 tahun 2018.
Badan atau lembaga sebagai leading sector yang menanganipun mengalami dinamika perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan global dakam koridor Hak azasi Manusia, hukum dan pendekatan keamanan. BNPT di Indonesia menjadi lembaga koordinator yang diamanatkan dalam koordinasi penanggulangan terorisme. Dalam beberapa tahun BNPT dianggap cukup berhasil dalam menangangi terorisme tidak hanya pada aspek koordinasi penegakan hukum, tetapi yang sangat penting pada aspek pencegahan dan deradikalisasi.
CONTEST Penangan terorisme Baru versi Inggris
Sama seperti halnya Indonesia, masalah legislasi dan regulasi masih merupakan bagian penting dalam rangka mengefektifkan kerja penanggulangan terorisme. Pada tanggal 4 Juni 2018, Pemerintah Inggris melalui Home scretary Sajid MP telah meluncurkan revisi strategi penanganan yang disebut contest ( Counter Terorrism Strategy ). Bertempat di gedung Foreign Commonwealth Office ( FCO ), pada kesempatan itu Joint International Conter terorrism Unit (JICTU), sebagai badan bentukan Kementerian Luar Negeri (FCO) dan Kementerian dalam Negeri ( Home Office ) yang tugasnya mengarahkan agenda kerjasama Internasional dalam menangani terorisme, menyampaikan orasinya.
Dengan melihat perkembangan terorisme global domestik, regional dan global saat ini maka konteks revisi strategi dalam Contest adalah dengan melihat bahwa bentuk ancaman terorisme terus mengalami perubahan. Pemerintah Inggris harus beradaptasi dalam merespon setiap ancaman guna mengembalikan rasa aman masyarakat. Juga didasari bahwa ancaman terorisme terbesar global saat ini masih berasal oleh kelompok ISIS dan Al-Qaeda. Terjepitnya gerakan kelompok ISIS di Suriah tidak berarti menyurutnya semangat para penyebarang ideologi radikal dan kekerasan, yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya. Dijelaskan juga bahwa dalam 5 tahun terakhir, Pemerintah Inggris telah berhasil menggagalkan 25 plot perencanaan serangan oleh terorisme.
Ancaman terorisme yang lain adalah berasal dari kecendrungan gerakan sayap kanan (extreme right wing) dalam menyulut sentimen nasionalis dan rasialis. Serangan terhadap warga Muslim di Masjid Finsbury Park tahun 2017 dan pembunuhan terhadap anggota parlemen dari Partai Buruh, Jo Cox oleh Aktivis kelompok sayap kanan “Britain First” beberapa waktu sebelum referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah contoh faktual.
Dalam pidatonya Home scretary juga mengingatkan bahwa di Irlandia Utara ancaman gerakan teroris dari kelompok nasionalis masih tergolong cukup tinggi.
Dalam sesi kesimpulan Home scretary menyimpulkan 6 prioritas yang menjadi fokus pemerintah Inggris dalam strategy baru CONTEST yaitu :
- Pencegahan dini terhadap ancaman terorisme. Hal ini dilakukan dengan merevisi UU terorisme yang memberikan wewenang kepada Polisi dan Kejaksaan untuk melakukan intervensi lebih awal misalnya untuk melakukan investigasi, penetapan pidana yang lebih lama dan upaya pengelola para mantan narapidana setelah keluar dari penjara.
- Pendekatan multi-agensi pada tingkat lokal. Hal ini memberikan peluang pembagian informasi intelegen pada instansi ditingkat lokal untuk mempercepat proses pengambilan tindakan.
- Peningkatan kerja sama dengan sektor swasta. Sektor swasta diharapkan memiliki awareness yang tinggi jika terdapat transaksi mencurigakan (misalnya pembelian potassium dalam jumlah besar dalam individu).
- Pencegahan penyebaran paham radikal melalui internet. Pemerintah akan terus bekerja sama dengan industri teknologi dan media online untuk menghentikan penyebaran paham radikal, dan berkomitmen meneruskan inisiatif Global Internet Forum for Counter Terorism. Tahun lalu terdapat sebanyak 1.9 juta konten radikal yang berhasil diturunkan oleh Facebook dibawah kerja sama ini.
- Penguatan ketahan komunitas masyarakat lokal. Upaya pencegahan tersebut berupaya mengurangi resiko individu menjadi teroris atau mendukung ideologi terorisme. Program pencegahan terus dijalankan dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat.
Kerjasama Bilateral dan Multilateral sebagai kunci Penanganan Terorisme Global
Setiap negara memiliki cara dan metode masing-masing dalam menangani terorisme. Lembaga yang menanganipun beragam. Ada negara yang mengedepankan militer. Ada yang mengedepankan kementerian dalam negeri. Dan adapula yang secara murni mengedepankan “do process of law“. Dan di Indonesia konsepnya juga berbeda. Indonesia mengedepankan “do Process of law”, tapi memungkinkan dukungan atau bahkan mengedepankan militer dalam Raid Planning Execution (RPE ) yakni dalam situasi di mana penegakan hukum biasa tidak mampu melakukannya, yang biasa disebut beyond police capacity.
Satuan penindaknyapun beragam. Di Filipina dulu ada Shanglahi task Force. Di Malaysia ada SB (special Branch). Tetapi sebagaimana dipahami oleh seluruh masyarakat dunia bahwa tidak ada lembaga tunggal yang dapat menangani terorisme sendirian. Begitu juga negara. Terorisme bergerak dalam jaringan dengan model sel. Dia bergerak laksana penyebaran virus. Sangat cepat. Pergeseran fase dari simpati menuju sel inti tidak bisa diukur dengan satuan angka waktu. Sangat tergantung persepsi. Bisa tahunan, bulan, minggu bahkan hari.
Untuk itu yang diperlukan saat ini adalah kerjasama antar individu, keluarga, lingkungan bahkan antar negara. Kolaborasi akan lebih baik dari pada bekerja sendiri. Itulah yang dilakukan oleh Inggris saat ini. Sukses buat Contest Inggris